TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau PPPA, Vennetia Ryckerens Danes menegaskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS harus segera disahkan. RUU PKS inilah nantinya, kata Vennetia, yang akan memudahkan aparat penegak hukum menindak kasus pelecehan seksual di kereta milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI beberapa bulan yang lalu.
“Sebab, di RUU ini telah memuat tentang jenis-jenis tindakan kekerasan seksual dan delik-deliknya,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019. Selain itu, kata dia, RUU ini juga mengatur hukuman pidana bagi pelaku, mulai dari yang ringan sampai yang berat.
Saat ini, kata Vennetia, tidak ada UU yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan kekerasan seksual. Walhasil, sebagian masyarakat pun menganggapnya sepele bahkan lumrah, kasus-kasus seperti pelecehan di kereta PT KAI tersebut. “Inilah yang merupakan asal muasal dari tindakan-tindakan kekerasan seksual,” kata dia.
Pernyataan ini disampaikan Vennetia menanggapi Standard Operation Procedure atau SOP penanganan tindak pelecehan seksual yang baru saja diterbitkan KAI. Selasa, 8 Oktober 2019, KAI menyampaikan kepada Tempo ihwal SOP pelecehan seksual yang telah ditetapkan sejak 20 Juni 2019.
“Mengatur soal penumpang melakukan perbuatan asusila, berperilaku yang dapat membahayakan keselamatan, dan/atau mengganggu penumpang lain di atas kereta api,” kata VP Public Relations KAI Edy Kuswoyo. Namun dalam SOP ini, pelaku memang hanya akan dihukum sebatas diturunkan di stasiun berikutnya, tidak ada klausul “diteruskan ke aparat penegak hukum.”
SOP ini pun terbit setelah kejadian pelecehan seksual beberapa bulan lalu. Pelecehan dialami seorang wanita dalam KA Sembrani rute Jakarta Gambir - Surabaya Pasar Turi pada Selasa 23 April 2019, pukul 02.00 WIB, sekitar 30 menit setelah kereta melewati Stasiun Tawang, Semarang. Kasus selesai secara kekeluargaan saja.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan, Kemenko PMK, Ross Diana Iskandar juga mengatakan RUU PKS bisa menjadi payung hukum untuk menindak pelecehan semacam ini. Menurut dia, pelecehan seksual merupakan salah satu jenis dari kekerasan seksual. “Itu diatur dalam RUU PKS,” kata dia.
Selain itu, kata dia, RUU PKS ini juga akan lebih memihak kepada korban. Sebab, di dalamnya, diatur berbagai jenis kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual dengan ancaman pidana lebih berat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, Diana kecewa RUU PKS ini batal disahkan oleh DPR periode 2014-2019. “Sayangnya belum sempat disahkan DPR,” ujarnya.