Komponen biaya usaha dengan kenaikan terbesar adalah beban pembelian dari listrik swasta yang mengalami kenaikan sebesar Rp3,62 triliun dari Rp37,8 triliun pada semest I/2018 menjadi Rp41,4 triliun pada semester I/2019.
"Kondisi tersebut seiring dengan masuknya beberapa IPP baru untuk menyuplai daya ke PLN," katanya.
Sementara itu, bahan bakar masih mendominasi kontribusi biaya usaha, yaitu 43 persen dari total biaya usaha. Lebih rinci, biaya gas menjadi biaya bahan bakar terbesar meskipun output listriknya hanya berkontribusi 22 persen.
Adapun kontribusi produksi listrik dari pembangkit batu bara sebesar 61 persen dari total produksi listrik nasional.
"PLN tetap mengoptimalkan pembangkit berbahan bakar batu bara untuk mendongkrak efisiensi sejalan dengan dukungan pemerintah terkait harga maksimal batu bara untuk sektor kelistrikan," sebutnya.
Menurutnya, PLN terus berupaya melakukan efisiensi operasi secara signifikan dan berkelanjutan dengan mengurangi konsumsi BBM untuk pembangkit PLN.
Listrik dari pembangkit BBM (fuel mix) selama semester I/2019 menurun signifikan menjadi 4,3 persen dari akhir 2018 sebesar 6 persen. Porsi pembangkit BBM juga jauh lebih rendah dibanding akhir 2014 yang masih sebesar 12 persen.
"Konsumsi bahan bakar fosil diganti dengan biofuel serta menambah pasokan listrik dari pembangkit lain yang berbiaya operasi lebih murah," katanya.
Adapun selama semester I/2019, PLN berhasil menambah kapasitas pembangkit sebesar 872,44 MW sehingga total kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia menjadi 58.519 MW. PLN juga berhasil menambah jaringan transmisi sepanjang 2.847 kilometer sirkuit (kms) menjadi 56.453 kms dan menambah gardu induk sebesar 6.557 MVA menjadi 137.721 MVA.
Penambahan kapasitas juga dilakukan dari energi baru terbarukan (EBT). Selama semester I/2019, PLN berhasil menambah 135 MW yang berasal dari EBT. Dengan penambahan ini, maka total kapasitas pembangkit dari EBT yang ada sebesar 7.266 MW.