TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui belanja pemerintah yang saat ini sudah mencapai Rp 2.000 triliun lebih masih belum optimal. Ini terjadi karena uang negara yang dikeluarkan belum bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
“Masih ada gap-nya,” kata Bambang dalam seminar di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Senin, 12 Agustus 2019.
Salah satu sumber masalah ada pada belanja kementerian dan lembaga di tahun 2017 hingga 2018. Dalam hitungan Bappenas, kenaikan belanja kementerian sebesar 11 persen pada periode itu, seharusnya bisa berkontribusi 0,66 persen pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kenyataannya, peningkatan ini hanya berkontribusi 0,24 persen saja. “0,36 persen itu apa, itu belanja yang tidak tepat sasaran,” kata dia.
Sebelumnya, Bappenas telah memulai riset mengenai efektivitas belanja negara pada pertumbuhan ekonomi yang dipimpin Direktur Keuangan Negara dan Analisis Moneter Bappenas, Boediastoeti Ontowirjo. Riset dilakukan karena realisasi belanja pemerintah terus meningkat, namun pertumbuhan ekonomi tidak bisa tumbuh lebih cepat.
Pada 2011, pemerintah mengeluarkan anggaran belanja negara sebesar Rp 1.294 triliun. Angka ini terus meningkat hingga menjadi Rp 2.269 triliun pada 2018. Namun, peningkatan ini tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang justru membentuk kurva U. Pada 2011, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,16 persen, lalu turun ke titik terendah sebesar 4,79 persen pada 2015, dan kembali naik menjadi 5,17 persen pada 2018.
Baca Juga:
Boediastoeti mengatakan salah satu penyebab kedua komponen ini tak linier adalah banyaknya belanja barang yang tidak produktif di kementerian. Produktif artinya tepat secara target dan implementasi. Pada 2015, hanya Rp 26 triliun atau 11 persen saja belanja barang yang produktif dari total Rp 233 triliun belanja barang. Pada 2018, hanya Rp 56 triliun atau 16 persen saja belanja barang yang produktif dari total Rp 347 triliun.
Menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, kondisi ini terjadi karena masih adanya analisis yang salah dalam program kementerian.