TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengungkapkan di samping angka stunting yang masih sekitar 30 persen, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia.
Baca juga: Bappenas: Kerugian Ekonomi Akibat Kurang Gizi Bisa Capai Rp 300 T
"Di satu sisi kita sedang menghadapi masalah kekurangan gizi yang bisa berpotensi kepada stunting, tapi di sisi lain Indonesia adalah penghasil sampah makanan terbesar di dunia setelah Arab Saudi," ujar Bambang di Ayana Mid Plaza, Jakarta, Selasa, 19 Februari 2019.
Kenyataan itu, menurut Bambang, adalah ironi. Sebabnya, dari data yang ia miliki tampak masih ada masyarakat yang kekurangan makanan. Namun, data berikutnya menunjukkan masih banyak masyarakat yang menciptakan sampah makanan. "Makanya kita butuh konsumsi dan produksi makanan yang bertanggung jawab."
Berdasarkan Global Nutrition Report 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban gizi ganda. Meskipun telah terjadi penurunan prevalensi stunting dari 37,2 persen di 2013 menjadi 30,8 persen di 2018, angka tersebut tergolong cukup tinggi. Demikian juga masalah kekurangan gizi mikro seperti anemia pada ibu hamil yang mencapai 48,9 persen juga dalam kategori tinggi.
"Selain itu, Indonesia memang tidak mengalami kelaparan, tetapi mengalami hidden hunger," ujar Bambang.
Kekurangan gizi mikro seperti gangguan akibat kekurangan zat besi, iodium, asam folat, zinc, dan vitamin A memiliki keunikan karena tidak bermanifestasi dalam kondisi fisik seperti kurus atau pendek, tetapi menimbulkan kelaparan tersembunyi atau disebut sebagai fenomena hidden hunger. Fenomena itu terjadi terutama pada ibu hamil dan anak balita dan dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, perkembangan kognitif pada anak, dan daya tahan terhadap infeksi. Apabila tidak dibenahi, persoalan itu akan mengancam kualitas manusia Indonesia ke depan.
Selain itu, persoalan kekurangan gizi ternyata juga berdampak kepada perekonomian Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data UNICEF, Bambang berujar kekurangan zat gizi mikro di masyarakat bisa menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 0,7 hingga 2 persen Produk Domestik Bruto untuk negara berkembang.
Apabila mengambil persentase kerugian terbesar yaitu 2 persen dan besar PDB Indonesia senilai Rp 15.000 triliun, maka Indonesia bisa kehilangan Rp 300 triliun akibat kekurangan gizi mikro. "Kalau dikonversi ke APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bisa dipergunakan untuk memperkuat anggaran kesehatan, pendidikan, dan sumber daya manusia," ujar Bambang.
Kalau permasalahan itu diabaikan, ia khawatir perekonomian Indonesia menjadi kurang produk ke depannya. Padahal, belakangan performa Indonesia, menurut Bambang, tengah membaik. Parameternya adalah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,17 persen, serta angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang terus menurun.
"Kalau kami lihat, upaya menurunkan stunting akan berkontribusi untuk perbaikan parameter itu semua," ujar Bambang. "Indonesia sekarang masih jauh dari bebas stunting, kalau mau memperbaiki itu semua, pengurangan stunting harus menjadi bagian integral dan prioritas, selain kebijakan perekonomian lainnya."
Untuk itu, Bambang mengatakan ada tiga cara untuk menanggulangi persoalan tersebut, antara lain dengan suplementasi, yaitu berupa pemberian tablet tambah darah, tablet vitamin A, dan suplemen zat gizi mikro lainnya. Upaya berikutnya adalah perubahan perilaku masyarakat agar mengonsumsi sumber makanan yang beragam dan kaya kandungan gizi, serta upaya fortifikasi pangan atau pengayaan zat gizi mikro terhadap produk pangan.
"Itu perlu pendekatan yang komprehensif dan tidak mudah, namun tetap harus dilakukan sebaik-baiknya," kata Bambang.
Baca berita stunting lainnya di Tempo.co