TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan potongan yang dibebankan penyedia layanan jasa transportasi ojek online kepada pengemudi terlalu tinggi. Padahal perusahaan dinilai memiliki kemampuan finansial yang cukup, salah satunya karena sudah mendapat suntikan dana besar dari investor.
"Aplikator ini sudah dapat banyak iklan, juga suntikan dana dari luar negeri. Oleh karena itu, stakeholder harus dipertemukan sehingga potongan bisa kecil dan tidak membuat tarif naik," kata Tulus di Jakarta, Selasa, 24 April 2018. Ia juga menyarankan penyedia layanan jasa transportasi online itu membuat formulasi ulang mengenai potongan yang dibebankan ke pengemudi setiap kali mendapat pelanggan.
Baca: Didemo Ojek Online, DPR: Lusa Kami Paksa Pak Menhub Datang Raker
Tak hanya kepada perusahaan penyedia layanan jasa transportasi, Tulus juga mengkritik tuntutan para pengemudi ojek online. Ia menilai keinginan pengemudi yang ingin menaikkan tarif menjadi Rp 4.000 per kilometer sangat tidak wajar.
Pasalnya, menurut Tulus, tarif yang diusulkan para pengemudi ojek online hampir sama dengan harga taksi dan merugikan konsumen. Padahal, dari segi kenyamanan, taksi lebih diuntungkan dan sepeda motor lebih kecil biaya operasionalnya.
Pemerintah juga diminta tidak terpancing untuk mengubah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang secara tidak langsung menjelaskan kendaraan roda dua bukan transportasi umum.
Dengan sering berulangnya demo yang dilakukan para sopir ojek online, Tulus menjelaskan, sebetulnya hal itu bisa menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki transportasi umum agar masyarakat berpindah tidak menggunakan ojek. "Ojek ini ada sebagai jawaban tidak ada transportasi umum. Jakarta sebenarnya sudah mulai bergerak dengan adanya LRT (light rail transit), BRT (bus rapid transit), dan lainnya," katanya.