TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati meminta pemerintah tidak menutup telinga atas kritik, termasuk soal utang, yang dilontarkan masyarakat. Selain itu, dia meminta pemerintah tak menjawab kritik tersebut hanya dengan retorika belaka.
"Tidak semua kritik itu tujuannya politis," katanya dalam sebuah diskusi di Hotel Mercure, Jakarta Barat, Rabu, 28 Maret 2018.
INDEF memberi peringatan keras kepada pemerintah dalam sektor ekonomi, khususnya masalah utang luar negeri. Enny mengatakan bentuk utang yang saat ini didominasi sekuritas perlu diwaspadai karena membahayakan kedaulatan.
"Apa yang dirasakan pasar itu banyak sekali kepala, kita gak bisa mendeteksi," katanya.
Simak: Tembus Rp 4.000 T, Faisal Basri Ingatkan Bahaya Utang Pemerintah
Utang saat ini disebut berbeda dengan utang masa Orde Baru. Saat itu, menurut Enny, dominasi utang dalam bentuk bilateral dan multilateral dibanding sekuritas. Untuk itu, intervensi pemerintah terhadap utang jauh lebih kuat.
"Kalau utang dulu, kita kesulitan bayar utang ke Jepang dan Amerika kita masih bisa nego-nego," ujarnya.
Enny menekankan bahwa saat ini dan beberapa tahun kedepan, masalah ekonomi adalah yang paling krusial. Pemerintah diminta tidak menganggap enteng.
Sebagai contoh, Enny menyebutkan Yunani yang bangkrut karena salah dalam pengelolaan ekonomi. "Yunani contohnya, salah kelola dalam kebijakan fiskal, sumber krisisnya adalah utang," katanya.
Utang pemerintah Indonesia hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.035 triliun. Posisi ini naik 13,46 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 3.556 triliun atau 29,24 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Terkait alasan utang demi pembangunan infrastruktur seperti yang pernah diungkapkan Menteri Perekonomian Darmin Nasution, Enny menagih hasilnya. Menurut Enny, infrastruktur dibangun dengan tujuan menurunkan logistic cost.
Namun, dari pengamatannya semua tol yang selesai dibangun pemerintah justru sepi peminat. "Misalnya tol di Tebing Tinggi itu sampai Rp 40 ribu, hitung-hitungan untuk kendaraan niaga bukan efisien malah menambah biaya," katanya.
Akibatnya, kata Enny, jika infrastruktur yang dibangun melalui utang tak menghasilkan akan membuat masalah baru. BUMN akan kesulitan mengembalikan utang. "Mereka kesulitan cash flow, apakah itu menunjukkan jalan untuk privatisasi lagi?," katanya.