TEMPO.CO, Semarang -Sejumlah pengusaha perempuan di Jepara optimistis bisa menjadi penyelamat industri mebel yang saat ini redup. Mereka menyebutkan bisa bertahan di tengah tantangan persaingan investasi asing sesama pelaku industri mebel asal luar negeri.
“Kami ingin mengembalikan kejayaan industri mebel Jepara yang telah dikenal seantero dunia,” kata Pengurus Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Kabupaten Jepara Alfiatun, 5 November 2017.
Ia menyebutkan para perempuan yang terlibat bisnis industri mebel di Jepara tergolong tinggi, meski diakui jumlahnya masih kalah dengan pengusaha pria. “Dari pengurus organisasi industri mebel hanya 10 perempuan, tapi anggotanya mencapai 60 orang dari total anggota sekitar 400 orang pria, kata,” kata Alfiatun menambahkan.
Menurut dia, perempuan yang aktif mengelola industri mebel di Jepara sedang mengkonsolidasikan kekuatan. Di antaranya memberi kesempatan saling mengisi pameran dan membuat kerja sama lebih mengena dengan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) di daerah.
Terkait dengan persaingan industri mebel di Jepara yang saat ini kelihatan redup, pemilik Jati Makmur Furniture itu meminta agar perempuan berpikir jernih, jangan mau dimanfaatkan pengusaha asing menanamkan investasinya.
Alfiatun menilai selama ini kekuatan perempuan lokal yang lemah mudah terjebak iming-iming menjadi agen investor yang membeli sejumlah aset mengatasnamakan perempuan lokal. “Tapi semua bisnis tetap dimiliki asing, dan benar ini terjadi di Jepara,” katanya.
Salah satu hambatan pengusaha mebel Jepara saat ini masuknya investasi sejenis yang lebih kuat karena modal pinjaman bank dari negara investor nol persen. Kondisi itu membuat mereka bebas menentukan harga jual sehingga mengalahkan pelaku industri mebel yang sama-sama menjual produk ke luar negeri.
“Namun kami terhambat modal dengan bunga bank lebih dari 10 persen,” kata Alfiatun.
Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kabupaten Jepara, Widiarti, menyatakan dari 45 anggota organisasinya, sebanyak 75 persen pelaku industri mebel. “Hanya 25 persen yang bisnis lain,” kata Widiarti.
Keyakinan mengembalikan industri mebel itu dibuktikan dengan sejumlah produk anggotanya yang dikirim ke negara Israel, Srilangka, Malaysia dan sebagian Cina. “Mereka tetap eksis di saat banyak tantangan dan hambatan,” kata Widiarti.
Berdasarkan pengalaman yang dikaji oleh anggotanya menunjukan banyak perempuan justru beralih ke industri mebel saat sektor kerajinan lokal ini sepi. Para perempuan yang jadi anggotanya justru mengelola dua usaha dari sektor yang berbeda.
“Awalnya ada yang konsen di kecantikan salon, juga tenun ikat. Sekarang justru beralih menjual mebel ke negara asing dan pelosok nasional,” kata Widiarti.
Ia yakin sebagai seorang ibu, pengusaha perempuan yang gigih juga bakal melahirkan generasi pelanjut industri mebel yang menjadi khas produk lokal kampung kelahiran Kartini.
EDI FAISOL