Marak Penipuan, KPPU: Persaingan di Industri Beras Tak Sehat
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 21 Juli 2017 12:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga terjadinya penipuan dengan modus menjual beras medium bersubsidi seharga beras premium akibat persaingan usaha tak sehat di industri beras selama ini.
“Struktur industri beras cenderung kompetitif di tingkat petani dan pengecer, tapi cenderung oligopoli di pusat-pusat distribusi (middleman),” ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf, seperti dikutip dari pesan resminya, Jumat, 21 Juli 2017.
Hal ini merupakan salah satu hasil pemetaan jejaring distribusi yang dilakukan KPPU. Pihaknya menemukan potensi persaingan usaha tidak sehat terjadi serta telah mengidentifikasi pelaku-pelaku usaha yang menjadi penguasanya.
Pernyataan Syarkawi menanggapi temuan Satgas Pangan akan praktik penipuan PT Indo Beras Unggul (PT IBU) yang merugikan masyarakat dan negara hingga ratusan triliun rupiah. Pada Kamis malam, 20 Juli 2017, produsen beras Cap Ayam Jago itu disegel Satgas Pangan Mabes Polri.
Syarkawi menjelaskan, selama ini perlindungan petani telah dilakukan pemerintah melalui penetapan harga dasar pembelian gabah dan harga eceran tertinggi beras. Namun di hilir diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga penguasa jejaring distribusi leluasa mengeksploitasi konsumen melalui kenaikan harga.
Disparitas harga memberikan gambaran tersebut. Harga dasar gabah petani untuk kering panen sekitar Rp 3.700 dan gabah kering giling Rp 4.600 per kilogram. Sedangkan harga pembelian beras petani ditetapkan Rp 7.300 per kilogram.
Harga pasar riil saat ini berada di kisaran Rp 10.500 per kilogram, meskipun ada sejumlah pelaku usaha yang menjual dengan harga lebih tinggi. Biaya produksi petani diperkirakan Rp 3.150 per kilogram.
Dengan perkiraan produksi gabah 79,6 juta ton atau 46,5 juta ton beras, dan dengan mempertimbangkan harga-harga sebelumnya, margin (keuntungan) yang dinikmati petani (56 juta orang) Rp 65,7 triliun. Sementara margin keuntungan perantara petani dengan konsumen (middlemen) mencapai Rp 186 triliun.
Menurut Syarkawi, keuntungan ini dinikmati sejumlah pelaku usaha yang lebih kecil. “Tingginya disparitas harga ini yang menjadi masalah, karena ada pedagang perantara yang mendapat keuntungan lebih besar dan membuat harga beras di tingkat pengecer juga tinggi. Sementara itu, ironisnya, petani justru tidak dapat memperoleh peningkatan kesejahteraan,” katanya.
Karena itu, ke depannya pemerintah berupaya mengurangi margin keuntungan di rantai pasok dengan menggeser ke petani. Dengan begitu, harga pembelian beras petani diharapkan bisa mencapai sekitar Rp 7.500 hingga Rp 8.000 per kilogram.
KPPU mendukung langkah pemerintah dengan menerbitkan kebijakan penetapan harga tertinggi beras di tingkat konsumen akhir sebesar Rp 9.000 per kilogram. Pengaturan ini HET tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017.
"Kebijakan penetapan harga acuan pembelian dan penjualan beras di hulu dan hilir ini dapat dijadikan mekanisme kontrol pemerintah untuk mengurangi disparitas harga di sisi petani, pelaku usaha dalam jejaring distribusi beras, dan konsumen,” kata Syarkawi.
DESTRIANITA