Bank Indonesia: 2 Rencana The Fed Akan Pengaruhi Ekonomi Nasional
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Jumat, 5 Mei 2017 09:42 WIB
TEMPO.CO, KUTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto menyebutkan sedikitnya ada dua risiko likuiditas global dari kebijakan perekonomian Amerika Serikat. Dua risiko itu yakni rencana Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi pada tahun ini dan rencana normalisasi neraca (balance sheet) Amerika.
Menurut Erwin, kebijakan tersebut bakal mempengaruhi kondisi perekonomian nasional, terutama jika perbankan dan korporasi terlalu banyak berutang ke luar negeri. “Dulu, Amerika mengatasi masalah krisis dengan melakukan quantitative easing. Kalau balance sheet dikeluarkan kembali, otomatis mereka akan melepas surat berharga yang dimiliki The Fed,” tuturnya dalam seminar nasional Stabilitas Sistem Keuangan di Kuta, Bali, Kamis, 4 Mei 2017.
Baca: Risalah The Fed Dorong Saham Wall Street Turun
Ketika Amerika menjalankan kebijakan tersebut, likuiditas global akan mengering karena semua dana investor masuk ke Negeri Abang Sam itu. Untuk memitigasi risiko tersebut, BI telah menempuh sejumlah langkah.
Di antaranya mengeluarkan ketentuan soal kehati-hatian dalam mengajukan pinjaman luar negeri. Menurut BI, yang boleh meminjam utang luar negeri hanyalah perusahaan dengan peringkat baik. "Dan untuk jumlah pinjaman tertentu harus melakukan lindung nilai (hedging),” katanya.
Baca: Ketidakpastian Berakhir, The Fed Naikkan Suku Bunga 25 Basis Poin
Namun BI meminta tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan sehubungan dengan dampak kebijakan ekonomi Amerika tersebut. Terlebih, kondisi perekonomian domestik kini sudah lebih kuat dan stabil. “Beberapa kali The Fed menaikkan suku bunga. BI enggak perlu ikut mengubah 7 Days Repo Rate. Kurs menjadi turun karena capital inflow yang malah meningkat,” ujarnya.
Bank Indonesia mencatat dana cadangan perbankan nasional di bank sentral mencapai Rp 430 triliun. Erwin mengatakan tingginya dana cadangan menjadi indikasi likuiditas perbankan masih longgar.
“Dari operasi moneter yang kami lakukan, jumlah dana yang ditanam perbankan di BI sekarang sekitar Rp 430 triliun cadangannya,” ucapnya. Menurut Erwin, likuiditas perbankan yang masih longgar juga terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) yang berada di level 22-23 persen. Minimal rasio kecukupan modal perbankan saat ini berada di level 8 persen.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengatakan status stabilitas sistem keuangan di bawah protokol manajemen krisis BI saat ini masih sangat aman. Indikator dalam protokol itu, antara lain tekanan nilai tukar rupiah dan stabilitas sistem keuangan. “Semua statusnya masih hijau,” ujarnya.
Fili mengatakan, jika dibanding likuiditas perbankan negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, perbankan Indonesia sangat memadai. Menurut dia, salah satu ketentuan terbaru BI untuk memudahkan perbankan mengelola likuiditas adalah menetapkan giro wajib minimum (GWM) averaging pada Juli mendatang.
Saat ini, perbankan wajib menyetorkan GWM senilai 6,5 persen kepada BI, dan 1,5 persen dari jumlah itu akan diberikan kewenangan mengatur secara rata-rata.
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menuturkan berdasarkan pantauan LPS terhadap 62 bank umum pada kuartal pertama 2017, suku bunga rata-rata sudah menurun hingga 9 basis point (bps). Sedangkan suku bunga maksimum turun 12 bps.
Pada kuartal kedua, suku bunga mulai turun hingga 1 bps untuk kedua suku bunga tersebut. “Likuiditas perbankan relatif longgar walau kita memantau ada segmentasi likuiditas," ujarnya.
Berdasarkan pantauan LPS, suku bunga simpanan di bank umum kelompok usaha 1 (Buku 1) alias bank kecil agak mengetat. Sedangkan suku bunga simpanan di bank Buku 2, 3, dan 4 lebih longgar.
GHOIDA RAHMAH | KHAIRUL ANAM