Sejumlah nelayan saat melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, di Pangkalan Pendaratan Ikan Amagarapati Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 24 Desember 2016. Akibat cuaca buruk dan gelombang tinggi, banyak nelayan tradisional dan modern memilih untuk tidak melaut. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Destructive Fishing Watch Indonesia Muhamad Arifudin mengatakan, ada perbedaan karakteristik penggunaan alat tangkap yang tak ramah lingkungan di Indonesia. Penggunaan alat tangkap tak ramah ini berkaitan dengan ketimpangan ekonomi di tingkat nelayan.
"Penggunaan trawl dan cantrang itu di Jawa saja, yang (daerah) lain itu beda," kata Arifudin saat ditemui di @america, Jakarta, Selasa, 25 April 2017.
Arif menuturkan, di wilayah Indonesia barat selain di Jawa, seperti Natuna, nelayan cenderung menggunakan bius dibandingkan cantrang. Ini berkaitan dengan permintaan ikan segar yang tinggi dari Hong Kong dan Cina.
Permintaan yang tinggi ini juga membuat bahan baku bius untuk ikan, diduga pula merupakan hasil selundupan dari kapal-kapal Hong Kong yang berlabuh ke Natuna.
Di Indonesia bagian tengah, nelayan cenderung menggunakan bom dibandingkan bius. Hal ini didorong oleh permintaan pasar lokal yang memang sangat gemar memakan ikan. Bahan baku bom sudah ada di Sulawesi sejak sekitar 1965, tapi sampai sekarang belum bisa diputus mata rantainya.
Diduga bahan baku bom ini berasal dari Malaysia lalu masuk ke Tarakan, kemudian ke Pare-Pare lalu ke Makassar. Setelah dari Makassar baru menyambar ke wilayah-wilayah lainnya.
Sedangkan di Indonesia bagian timur, nelayan cenderung menggunakan mesiu karena di sejumlah daerah ditemukan sejumlah bom sisa perang dunia II. "Material bom ini ada di kedalaman laut yang tak terlalu dalam, bisa dijangkau," ujar Arif.