BI: Indonesia Bukan Negara yang Rugikan Perdagangan AS  

Reporter

Kamis, 6 April 2017 00:46 WIB

Pekerja tengah merapikan batik khas Kalimantan Barat di Gedung Semsco, Jakarta, 13 Oktober 2014. Negara tujuan ekspor batik terbesar adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Korea Selatan. Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan Indonesia bukan negara yang merugikan nilai perdagangan Amerika Serikat (AS). Sehingga tidak selayaknya masuk dalam kategori negara yang merugikan Amerika seperti termuat dalam perintah eksekutif Presiden Donald Trump.

"Seharusnya Indonesia tak masuk. Tapi tentu perlu dicermati perkembangan dari AS," kata Mirza Adityaswara di Museum Bank Indonesia, Rabu, 5 April 2017.

Baca juga: Tukar Uang Pecahan, Bank Indonesia Minta 10 Bank

Menurut Mirza, ada beberapa kriteria negara yang dianggap dapat merugikan AS dalam sektor perdagangan. Salah satunya, negara tersebut mencatatkan surplus neraca perdagangan lebih dari US$ 20 miliar AS.
"Indonesia tidak, Indonesia hanya sekitar 13 miliar dolar AS (surplus)," kata Mirza.

Selain itu, suatu negara dapat dikatakan merugikan apabila memiliki surplus neraca transaksi berjalan secara total dari segi ekspor maupun impor barang dan jasa.

"Sedangkan Indonesia transaksi berjalannya defisit 1,8-2 persen terhadap PDB. Jadi tidak termasuk," kata dia.


Selain itu, negara tersebut juga intensif melakukan intervensi nilai tukar mata uang selama satu tahun dengan tujuan melemahkan kurs negara sendiri sehingga nilai ekspor negara tersebut menuju AS menjadi lebih murah.

Menurut Mirza, dalam hal ini Indonesia tidak pernah sengaja melemahkan mata uangnya untuk menekan biaya ekspor.

"Kalau Indonesia bergejolak, BI masuk ke pasar untuk pengendalian. Yang terjadi malah mencegah Rupiah menjadi terlalu lemah," tutur Mirza.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menerbitkan perintah eksekutif untuk melakukan investigasi terhadap negara-negara yang menyumbang terjadinya defisit neraca perdagangan AS.

Perintah eksekutif ini dibuat dengan tujuan melindungi perekonomian AS dari politik dumping yang dilakukan negara mitra dagang dan manipulasi kurs yang membuat harga barang impor lebih murah.

Dalam aturan itu, Indonesia termasuk negara yang disebut-sebut merugikan kepentingan AS dalam perintah eksekutif karena menempati peringkat negara ke-15 yang memiliki defisit perdagangan dengan AS.


Posisi pertama ditempati oleh Cina dengan US$ 347 miliar, disusul dengan Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Switzerland dan Taiwan.

Sebagai informasi, saat ini surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS mencapai US$ 8,8 miliar pada 2016. Namun AS mengklaim mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia hingga US$ 13 miliar.

DESTRIANITA

Berita terkait

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

6 jam lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

2 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

3 hari lalu

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

PNM menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga dasar kredit meskipun BI telah menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

3 hari lalu

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

Bank Rakyat Indonesia atau BRI mengklaim telah mendapatkan izin untuk memproses transaksi pengguna Alipay.

Baca Selengkapnya

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti

3 hari lalu

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti

BCA belum akan menaikkan suku bunga, pasca BI menaikkan suku bunga acuan ke angka 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

4 hari lalu

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 6,25 persen bisa berdampak pada penyaluran kredit.

Baca Selengkapnya

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

4 hari lalu

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

BI mempersiapkan perluasan cakupan sektor prioritas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

5 hari lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

6 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

7 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya