Suku Bunga Acuan BI Tetap 4,75 Persen, Harga Komoditas Naik
Editor
Budi Riza
Kamis, 16 Maret 2017 19:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya, 7-Days Reverse Repo Rate, sebesar 4,75 persen. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, mengatakan BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility 4 persen dan suku bunga lending facility 5,5 persen.
"Ini konsisten dengan upaya BI menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan di tengah semakin meningkatnya ketidakpastian global. Namun, BI tetap mewaspadai dan mencermati sejumlah resiko dalam jangka pendek ke depan, baik global maupun domestik," kata Tirta di Kompleks BI, Jakarta, Kamis, 16 Februari 2017.
Baca : Yuk, Intip Proses Pencetakan Uang Rupiah Baru di Peruri
Risiko yang berasal dari global, menurut Tirta, antara lain terkait kenaikan inflasi global, arah kebijakan ekonomi dan perdagangan Amerika Serikat, dampak lanjutan kenaikan suku bunga bank sentral AS (Fed Fund Rate), serta risiko geopolitik di Eropa. Adapun resiko domestik terkait dampak penyesuaian administered prices terhadap inflasi.
Untuk mengantisipasi resiko-resiko tersebut, Tirta menuturkan, BI akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. "BI terus melakukan penguatan koordinasi bersama pemerintah dengan fokus pada pengendalian inflasi."
Baca: Bank Indonesia Prediksi Inflasi 2017 Bisa di Atas 4 Persen
Pertumbuhan ekonomi dunia, Tirta menyatakan, akan terus membaik walaupun diliputi sejumlah risiko. Perekonomian global akan tetap tumbuh, didukung perbaikan ekonomi AS dan negara emerging, serta meningkatnya harga komoditas. Ekonomi AS terus tumbuh didorong konsumsi, investasi, ketenagakerjaan, dan pendapatan.
Selain itu, menurut Tirta, harga komoditas dunia termasuk harga minyak dan komoditas ekspor Indonesia tetap meningkat. "Di sisi lain, sejumlah resiko global terus diwaspadai, termasuk tekanan inflasi yang mulai meningkat di negara-negara maju yang dapat memicu pengetatan kebijakan moneter di negara-negara tersebut," kata dia.
Sementara itu, Tirta berujar, kenaikan FFR lebih lanjut akan berpotensi mendorong penguatan mata uang AS dan meningkatkan cost of borrowing. "Permasalahan Brexit (Britain Exit) dan resiko geopolitik di sejumlah negara Eropa terkait menguatnya gelombang populisme serta penyelesaian utang Yunani dapat meningkatkan ketidakpastian global."
ANGELINA ANJAR SAWITRI