Pekerja tengah memasukkan sapi impor kedalam sebuah truk usai tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 2 September 2015. Pemerintah akan mengimpor sapi potong dari Australia sebanyak 50.000 ekor yang dikirim secara bertahap. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pertanian mengklaim impor daging berbasis zona, seperti dari India, tak akan menjatuhkan harga ternak atau daging lokal. Pemerintah mengimbangi dengan pengawasan yang ketat agar daging impor tak sembarangan dapat diperjualbelikan dan menekan daging lokal.
"Persyaratan ketat dan uji yang kompleks akan mempengaruhi harga ternak atau daging yang dimasukkan dari zona di suatu negara," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita kepada Tempo, Selasa, 31 Januari 2017. "Sehingga tidak akan menimbulkan distorsi atau menjatuhkan harga ternak atau daging lokal."
Sejak tahun lalu, pemerintah mengimpor daging India berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan. Aturan tersebut mengizinkan impor sapi bakalan dan daging berdasarkan zona yang belum sepenuhnya terbebas dari penyakit mulut dan kuku.
Berdasarkan data Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan, India tidak termasuk negara anggota yang bebas dari penyakit mulut dan kuku, seperti Australia, Selandia Baru, dan Brasil. Kendati demikian, Kementerian Pertanian menjamin keamanan sepanjang prosedur dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan mitigasi risiko disepakati semua pihak.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Teguh Boediyana mengatakan skema impor berdasarkan zona akan berdampak buruk pada perekonomian dan pariwisata nasional. "Terutama soal penyakit. Kalau kena PMK (penyakit mulut dan kuku), target swasembada daging 2017 hanya impian," ucapnya.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan impor ternak berbasis zona dilakukan untuk menekan harga daging dalam negeri. Sebelum kebijakan berlaku, Amran telah mengirim 1.128 ahli ke India. "Tidak mudah tanda tangan langsung impor. Ini kami cek semuanya. Tidak mungkin kami angkut kalau tidak yakin ini dalam keadaan steril," ujarnya.
Apalagi Amran membatasi daging yang diimpor melalui Bulog hanya berupa daging beku, yang dianggap lebih kebal dari penularan penyakit. "Tahu enggak, penyakit mulut dan kuku itu bisa bertahan berapa derajat? Bisa bertahan 23 derajat (Celsius). Sedangkan kita impor dalam bentuk frozen."
Menurut Ketut Diarmita, impor daging dari zona tertentu harus sesuai dengan rekomendasi kajian risiko oleh Komisi Ahli Kesehatan Hewan serta uji kesehatan masyarakat veteriner dan karantina hewan pada 2015. Daging beku tersebut berasal dari karkas yang telah dilayukan dan berasal dari unit usaha yang telah disetujui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Dewan Peternakan Nasional memprotes skema ini lantaran merugikan peternak lokal hingga 50 persen selama enam bulan terakhir. Anggota Presidium Dewan Peternakan Nasional, Edy Wijayanto, mengatakan peternak rakyat di Tapos, Jawa Barat, hanya bisa memotong rata-rata 30 ekor sapi per hari dari sebelumnya 50-60 ekor.
Permintaan daging sapi lokal anjlok karena bersaing dengan daging asal India, yang dipatok Bulog di bawah Rp 80 ribu per kilogram. "Industri cenderung pakai itu. Pedagang pasar juga mengoplos daging lokal dengan daging India," kata Edy.