Foto udara kawasan hutan yang rusak di Lahat, Sumatera Selatan, 25 Februari 2015. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 30 persen hutan dan kawasan konservasi atau 10,5 juta hektare rusak karena perambahan, pembalakan liar, kebakaran, dan pembukaan lahan baru untuk perkebunan/pertambangan. ANTARA/Iggoy el Fitra
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Antam (Persero) Tbk Tedy Badrujaman berencana membangun kembali pabrik feronikel seusai kontrak kerja sama Pembangunan Proyek Pabrik Feronikel Haltim (P3FH) Tahap I Line I ditandatangani hari ini bersama konsorsium PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan Kawasaki Heavy Industries Ltd.
"Kami membangun di Buli (Halmahera Timur) karena cadangannya ada di sana. Ini baru tahap I line I. Janji kami ke pemerintah 27 ribu ton nikel. Saat ini, kami baru bisa bangun 13.500 ton nikel per tahun," kata Tedy seusai penandatanganan kontrak kerja sama tersebut di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jakarta, Rabu, 21 Desember 2016.
Tedy mengatakan pembangunan pabrik-pabrik feronikel selanjutnya dibutuhkan karena perseroan mesti memenuhi persyaratan kapasitas minimal 40 ribu ton nikel per tahun agar diperbolehkan membangun pabrik stainless steel. "Setelah ini, kami akan cari dana untuk bangun line berikutnya sampai kami bisa bangun stainless steel di Buli," tuturnya.
PT Antam (Persero) Tbk akan membangun Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Haltim (P3FH) bersama konsorsium PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan Kawasaki Heavy Industries Ltd. Proyek yang berlokasi di Halmahera Timur, Maluku itu, memiliki nilai kontrak Rp 3‚42 triliun. Pembangunan pabrik ini dibiayai dengan dana penyertaan modal negara (PMN).
Namun, karena tahun depan pemerintah tidak akan memberikan PMN lagi kepada BUMN, Tedy mengusulkan agar Antam diizinkan mengekspor nikel berkadar rendah yang tidak dibutuhkan di dalam negeri. "Yang kami proses adalah yang paling bawah, kadarnya paling tinggi. Nikel yang berkadar tinggi lebih ekonomis," ujar Tedy.
Menurut Tedy, nikel berkadar rendah di pasar dunia mencapai sekitar US$ 40-50 per ton nikel. Apabila Antam diperbolehkan ekspor, pemerintah dapat menetapkan bea keluar US$ 10-20 per ton nikel. "Antam tak perlu banyak-banyak keuntungannya, US$ 5 per ton saja sudah cukup untuk membangun pabrik," kata Tedy.