TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Filipina Rodrigo Duterte akan bertolak ke Jakarta pada 8 September 2016 setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-28 dan KTT Terkait ASEAN Ke-29 di Vientiane, Laos.
"Presiden Duterte akan terbang ke Jakarta untuk kunjungan kerja pada 8 September, tinggal satu malam, dan keesokan harinya akan bertemu dengan Presiden Widodo (Joko Widodo), dan setelah itu kembali ke Manila," kata juru bicara Kepresidenan Filipina, Ernesto Abella, di National Convention Center (NCC), Vientiane, Laos, Selasa, 6 September 2016.
Terkait dengan isu-isu yang akan dibicarakan dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Jokowi, Abella mengatakan pihak Filipina dan Indonesia masih mendiskusikannya.
"Tapi, yang pasti, isu keamanan laut akan dibahas oleh Presiden Duterte dan Presiden Widodo, terlebih karena sudah ada pembahasan yang dilakukan oleh kedua menteri pertahanan (Filipina dan Indonesia)," kata dia.
Pembahasan kedua menteri pertahanan RI dan Filipina dilakukan dalam pembahasan pemberlakuan sea lane corridor atau jalur koridor laut antara Indonesia dan Filipina guna menjaga perairan laut kedua negara.
"Hampir dapat dipastikan kedua presiden akan membicarakan hal itu karena sea lane corridor untuk memberantas grup teroris Abu Sayyaf," kata Abella.
Presiden Jokowi dan Presiden Duterte, beserta para pemimpin ASEAN lainnya, saat ini berkumpul di NCC Vientiane untuk menghadiri KTT ASEAN Ke-28 dan KTT Terkait ASEAN Ke-29 pada 6-8 September 2016.
Hingga pukul 16.30 waktu setempat, para pemimpin ASEAN masih melakukan rapat pleno tertutup di NCC dengan agenda utama pembahasan sejauh mana pelaksanaan tugas masing-masing negara anggota untuk bersinergi dalam mewujudkan Komunitas ASEAN 2025.
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
31 Januari 2024
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
Marcos bekerja sama dengan putri Duterte, Sara, untuk menjadikannya wakil presiden dalam kemenangan Pemilu 2022. Namun, keretakan dalam aliansi keluarga tersebut muncul ketika petahana telah menyimpang dari kebijakan anti-narkoba dan kebijakan luar negeri pendahulunya.