TEMPO.CO, Jakarta - Pasokan susu dalam negeri diperkirakan tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional dalam lima tahun mendatang. Produksi susu nasional diperkirakan hanya mampu memenuhi 10 persen dari kebutuhan nasional dalam lima tahun ke depan, jika peternakan sapi perah ditangani seperti sekarang.
Ketua Bidang Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Emil B. Arifin mengatakan kontribusi susu dalam negeri saat ini hanya mampu memenuhi 20 persen dari kebutuhan nasional. Sisanya dipenuhi dari ekspor
“Sebelumnya, konstribusi susu segar dalam negeri masih 25 persen,” kata dia di Rapat Koordinasi Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia (GKSI) Jatim di Malang, Selasa, 26 April 2016
Data 2013 memperlihatkan kebutuhan konsumsi susu nasional mencapai 4,2 juta ton. Dari angka itu, 3,360 ton dipenuhi dari impor, sisanya, 787.000 ton dari produksi dalam negeri. Produksi turun karena beragam permasalahan. Namun yang paling berdampak, karena adanya kebijakan pemerintah pada 2012 yang melarang impor sapi pedaging sehingga sapi perah banyak yang disembelih untuk dikonsumsi dagingnya.
Pada 2011, populasi sapi merah mencapai 697.000 ekor dengan produksi susu sebanyak 977 ribu ton. Pada 2012 populasinya menurun menjadi 611.000 ekor dengan produksi susu 960 ribu ton. Setahun kemudian, penurunan populasi sapi perah makin tajam menjadi 460 ribu ekor dengan produksi susu sebanyak 787 ribu ton. Dua tahun lalu, ada kenaikan tipis menjadi 801 ribu ton dengan populasi sebanyak 483 ribu ekor sapi perah.
Penurunan populasi sapi perah lebih karena peternak senang menjual sapinya untuk disembelih. Alasan peternak adalah harga sapi yang tinggi. Di sisi lain, budi daya sapi kurang menguntungkan karena jumlahnya yang diternak tak banyak, pakan yang sulit serta harga susu yang relatif murah.
Peternak kesulitan mencari rumput karena lahan banyak yang berubah fungsi menjadi kawasan terbangun. Sentra-sentra populasi sapi perah yang biasanya di kawasan dingin diubah menjadi fungsi sebagai kawasan pengembangan pariwisata.
Terlebih lagi, sentra populasi sapi ternak justru di Pulau Jawa, terutama Jawa Timur, yang dari sisi kepadatan penduduk sudah sangat padat. Di luar Pulau Jawa yang masih longgar justru kurang dimanfaatkan untuk pengembangan produksi susu sapi, seperti di Pulau Sumatera.
Padahal, kebutuhan susu terus meningkat bersamaan dengan pertambahan penduduk serta meningkatkan tingkat konsumsi karena peningkatan pendapatan mereka. Peningkatannya diperkirakan mencapai 7 persen per tahun.
Karena itu, Arifin menganggap perlu sinergitas antara kementerian dan stakeholders lainnya dalam pengembangan susu. Ia mencontohkan kebijakan susu yang tidak bisa terlepas dari masalah daging. Keduahya tidak bisa dipisahkan sehingga peristiwa tahun 2012 terulang kembali.
Selain itu peternak perlu didorong agar dapat memenuhi persyaratan minimum skala ekonomis peternakan dan memanfaatkan good farming practices sehingga produksi bisa meningkat setidaknya mencapai 20 liter/sapi/hari. Saat ini kisaran produksi hanya 10 liter/sapi/hari.
Untuk di Pulau Jawa, ia menganggap perlu pemetaan kawasan yang khusus diperuntukkan bagi pengembangan peternakan sapi perah. Tujuannya supaya pemanfaatan lahan menjadi lebih optimal. “Sedangkan di luar Pulau Jawa, pemerintah perlu memberikan insentif bagi masyarakat agar senang beternak sapi perah dengan melatih SDM, serta mendorong industri pengolah sana berinvestasi di sana,” kata dia.
BISNIS