Karyawan PT Astra Honda Motor (AHM) tengah melakukan pengetesan Honda New MegaPro di pabrik perakitan AHM di Jalan Pegangsaan, Jakarta Utara. (Dok. AHM)
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli bersama Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri berencana meningkatkan program pelatihan kejuruan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
"Bayangkan, selama ini kita mengeluarkan anggaran Rp 414 triliun per tahun untuk pendidikan umum," kata Menteri Rizal saat menggelar pertemuan dengan Hanif di kantornya pada Selasa, 19 April 2016.
Menteri Rizal mengatakan idealnya Indonesia tidak meniru sistem pendidikan Amerika Serikat dan Inggris. Menurut dia, sistem pendidikan yang umum membuat sumber daya manusia Indonesia hanya jago di sektor keilmuan dan biasanya lemah di sektor skill.
Seharusnya, kata Rizal, Indonesia meniru Jerman dan Swiss, yang memperbanyak sekolah politeknik dan kejuruan. Hasilnya, kualitas tenaga kerja di Jerman dan Swiss sangat profesional. "Yang bagus seperti itu."
Karena itu, dalam empat tahun ke depan, ia berencana menggelontorkan Rp 44 triliun untuk mengadakan program pendidikan vocational training dan vocational education. Pemerintah akan bekerja sama dengan sejumlah negara sahabat dan sektor swasta. Rizal juga menggandeng Kementerian Tenaga Kerja untuk memperbaiki kualitas Balai Latihan Kerja Industri.
Menurut Menteri Hanif, pemerintah sedang menggenjot percepatan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang profesional. Pihaknya membutuhkan dukungan dari seluruh kementerian di sektor teknis. Tujuannya agar program peningkatan kualitas sumber daya dapat cepat terlaksana.
Dalam waktu dekat ini, Menteri Rizal dan Hanif akan membahas usulan ini ke Presiden Joko Widodo agar segera disetujui. Menurut Rizal, pemerintah saat ini tidak hanya menggenjot pembangunan infrastruktur, tapi juga menggenjot peningkatan sumber daya manusia. Dia takut, setelah MEA diberlakukan, sejumlah profesi akan dibanjiri tenaga kerja asing yang lebih profesional dan tersertifikat.
Selama ini, di sejumlah sektor industri, masih ada kesenjangan skill di antara kalangan tenaga kerja. Bahkan, berdasarkan temuan Hanif, banyak buruh yang dibayar murah karena tak memiliki skill yang memadai. Sebaliknya, hanya sedikit pekerja yang dibayar mahal karena profesionalitas skill-nya.