Harga Garam Petani Babak Belur, Ini Penyebabnya
Editor
Anton Septian
Selasa, 12 Januari 2016 01:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan 80 persen garam yang digunakan masyarakat Indonesia merupakan garam impor. KIARA mencatat beberapa hal yang menyebabkan harga garam babak belur di pasaran.
Penyebabnya antara lain pengelolaan garam nasional terbagi ke dalam tiga kementerian, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Terjadi beda kewenangan dan tanpa koordinasi di antara kementerian tersebut," kata Abdul Halim di Bakoel Koffie, Senin, 11 Januari 2016.
Selain itu, pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu, seperti tambak, modal, dan teknologi, hingga hilir, seperti pengolahan, pengemasan, dan pemasarannya. Kemudian, lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.
Berdasarkan surat keputusan bersama menteri, harga panen garam dengan kualitas I (KW 1) hanya dihargai Rp 750 per kilogram dengan kadar natrium klorida (NaCL) di atas 97 persen, sedangkan untuk KW 2 Rp 540 per kilogram dengan kadar NaCl 90 persen. Untuk beberapa daerah justru masih ada yang menjual di bawah harga tersebut.
Selain itu, dalam surat tersebut, diputuskan negara boleh mengimpor garam di luar masa panen raya. Namun kondisi di lapangan tidak sepenuhnya begitu. "Saat panen raya tiba bersamaan dengan masa impor garam," kata Halim.
Alasan lain yang membuat impor garam masih terus dilakukan adalah kandungan NaCl pada garam Indonesia kurang dari 97 persen. Sedangkan petambak garam Indonesia dianggap baru bisa memproduksi garam dengan kandungan NaCl sebanyak 94 persen.
"Itu yang selalu diklaim pemerintah sejak 2001 agar impor garam tetap dilakukan," ujar Halim.
KIARA berencana bekerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia untuk melakukan uji guna untuk membuktikan klaim yang menyebutkan kandungan NaCl pada garam Indonesia baru 94 persen. "Kami ingin membuktikan bahwa klaim tersebut bisa dipatahkan," kata Halim.
"Jika terbukti, bisa dijadikan upaya proteksi untuk menghentikan impor garam," tambah Halim.
LARISSA HUDA