Ditjen Pajak Kesulitan Gali Pajak Kelompok Super Kaya
Editor
Efri NP Ritonga
Minggu, 27 September 2015 21:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak mengakui penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi lebih rendah jika ketimbang penerimaan pajak lainnya, termasuk PPh Badan. “Penerimaan PPh Orang Pribadi sudah dari lama kami identifikasi memang rendah, terlepas dia dari kelompok orang superkaya, pekerja, atau menengah," ujar Mekar Satria Utama, juru bicara Ditjen Pajak, Ahad, 27 September 2015.
Rencana penerimaan pajak hingga akhir 2015 untuk PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi mencapai Rp 5,2 triliun untuk PPh Non Karyawan atau profesi yang juga termasuk di dalamnya kelompok super kaya. Sedangkan PPh Karyawan, yang terdiri dari mayoritas kelas menengah dan pekerja ditargetkan mencapai Rp 126,8 triliun. Jumlah ini lebih rendah dari target PPh Badan yaitu sebesar Rp 220 triliun.
Padahal, menurut Mekar, jumlah penerimaan PPh OP seharusnya lebih besar ketimbang penerimaan PPh Badan, seperti yang terjadi di negara maju. Mekar mengungkapkan masalah utama yang dihadapi Ditjen Pajak adalah keterbatasan data. Akses Ditjen Pajak terhadap data aset dan transaksi kelompok super kaya ini sangat terbatas. Salah satu penyebabnya abelum terbukanya informasi perbankan untuk keperluan perpajakan.
"Kalau tidak pakai akses data seperti itu susah. Kadang mereka mengakali, misalnya beli mobil pakai nama anak atau saudaranya,” kata Mekar. Karena itu, menurut dia, kebijakan keterbukaan informasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Ini dimaksudkan agar kegiatan pemungutan perpajakan, khususnya kepada kelompok super kaya, ini dapat berjalan optimal.
Menurut dia, Ditjen Pajak tidak bisa menggunakan data yang masih bersifat asumsi atau perkiraan. Sehingga, akses terhadap sumber data yang valid seperti dari pihak perbankan dianggap dapat menjadi solusi untuk hal ini.
Sebelumnya Perkumpulan Prakarsa dalam rilisnya mengatakan meski pendapatannya tinggi, tingkat kepatuhan pajak orang kaya di Indonesia rendah. Hal ini terlihat dari kontribusi pajak kelompok superkaya yang hanya sebesar 2 persen terhadap penerimaan negara. Sedangkan kelompok kelas menengah dan pekerja menyumbang 15 persen.
"Kategori orang super kaya menurut Wealth Management adalah orang yang memiliki aset US$ 1 juta di luar properti, atau sekitar Rp 10-15 miliar," kata Yustinus Prastowo, peneliti pajak Perkumpulan Prakarsa.
GHOIDA RAHMAH