Petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diperindag) Kabupaten Madiun bersama petugas Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe B Madiun menggelar razia rokok ilegal. TEMPO/Ishomuddin
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menolak wacana kenaikan cukai rokok pada 2016. Sebab, rencana ini berisiko menurunkan produksi rokok perusahaan.
"Kebijakan ini sangat tidak tepat sasaran. Kenaikan cukai bukan hanya berdampak kepada produsen, tetapi juga ke seluruh rantai produksi," ujar Budidoyo, Ketua Umum AMTI, di Jakarta, Rabu, 9 September 2015.
Menurut AMTI, berdasarkan data Universitas Gadjah Mada selama empat tahun terakhir, pertumbuhan rokok ilegal sudah mencapai dua kali lipat atau sebesar 11,7 persen. Budi menyatakan fenomena ini membuat penjualan rokok perusahaan di pasar tergerus.
Rencana kenaikan cukai terlihat dalam program pemerintah yang menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau tahun depan sebesar Rp 148,9 triliun. Angka ini setara 95,72 persen dari target penerimaan cukai 2016 sebesar Rp 155,5 triliun.
Gabungan Asosiasi Perserikatan Pengusaha Rokok Indonesia (GAPRI) juga keberatan dengan rencana tersebut. Apalagi tahun ini pemerintah telah menghapus fasilitas penundaan pembayaran pita cukai lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.04/2015, sehingga pembayaran cukai rokok mencapai 14 bulan dalam setahun.
GAPRI juga mengatakan komponen pembelian rokok juga berpengaruh pada daya beli masyarakat. Jika cukai naik, harga eceran akan naik sehingga daya beli masyarakat bakal terganggu. "Pemutusan hubungan kerja (PHK) juga berpeluang terjadi," kata Budidoyo.
Penerimaan Cukai Rokok 2023 Diprediksi Tak Capai Target, Ada Tiga Alasan
14 September 2023
Penerimaan Cukai Rokok 2023 Diprediksi Tak Capai Target, Ada Tiga Alasan
penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok baru terkumpul Rp 126,8 triliun hingga akhir Agustus 2023. Realisasi tersebut setara 54,53 persen dari target APBN 2023 sebesar Rp 232,5 triliun.