Memakai Kayu Legal, Eksportir Yogyakarta Lebih Percaya Diri
Editor
Zed abidien
Minggu, 3 Mei 2015 16:26 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Gambar daun hijau dan tulisan Indonesian Legal Wood menempel pada papan kayu besar di rumah produksi kerajinan tangan. Sejumlah perajin sedang mengerjakan pesanan produk berbahan kayu maupun bahan alam, seperti rotan, batu, tanah liat, dan kulit kerang. Kerajinan berbahan kayu jati berupa dudukan untuk lampu hias.
Kegiatan tersebut berlangsung di Palem Craft milik Deddy Effendi di Pendowoharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Deddy adalah ketua Kelompok Yogya Kayu Legal, yang membawahi tiga industri kerajinan masyarakat. Kelompok ini telah mengantongi sertifikat legalitas kayu yang dikeluarkan oleh lembaga independen. Sertifikat ini untuk memastikan kayu yang menjadi bahan produk kerajinan industri kerajinan masyarakat adalah kayu legal.
Deddy menyatakan sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK menjadi kebutuhan perajin. Pasar ekspor Eropa memberikan syarat agar para eksportir produk kayu memiliki sertifikat legalitas kayu. “Setelah mendapatkan SVLK, kami menjadi lebih percaya diri ketika mengekspor produk,” kata Deddy, Ahad, 3 Mei 2015.
Sertifikat legalitas kayu itu berlaku selama enam tahun. Setiap dua tahun ada audit oleh lembaga yang mengeluarkan sertifikat. Tujuannya untuk mengecek data, dokumen, dan memastikan tidak ada penyimpangan. Deddy dan kelompoknya punya kesadaran untuk peduli terhadap keberlangsungan hutan di Indonesia. Usaha Deddy mendapat tanggapan yang baik dari para pembeli dari Eropa. Ia mendapatkan kepercayaan dari mereka. Produk Palem Craft selama ini membanjiri Swiss untuk Eropa. Amerika Serikat dan Libanon juga menggunakan produk Palem Craft.
Omzetnya setidaknya mencapai Rp 600 juta per bulan untuk pengiriman dua kontainer produk kerajinan. Produk kerajinan Deddy setidaknya menggunakan 10 persen bahan kayu untuk seluruh kerajinannya. Setiap bulan kebutuhan kayu sebanyak lima hingga enam meter kubik per bulan. Mei tahun ini, Deddy mengirim produk ke Swiss, Amerika Serikat, dan Libanon dengan nilai ekspor Rp 200 juta.
Untuk mengurus sertifikat legalitas kayu itu memang cukup njlimet dan mahal. Biaya untuk memproses SVLK setidaknya Rp 25-100 juta. Perajin harus menyertakan sejumlah dokumen, di antaranya izin gangguan atau HO, surat izin usaha perdagangan atau SIUP, dan surat izin mendirikan bangunan atau IMB.
Namun kalangan industri kerajinan masyarakat bisa mengajukan sertifikat legalitas kayu lewat kelompok. Organisasi non-pemerintah bernama Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam atau Arupa memfasilitasi kelompok Yogya Kayu Legal. Fasilitator lapangan dari Arupa, Sugeng Trianto, mengatakan lembaganya mendampingi 16 industri kerajinan masyarakat. Dari 16, itu ada tiga yang sudah memiliki sertifikat legalitas kayu. Mereka adalah PT Palem Craft, CV Anna Craft, dan CV Nebula Craft. “Kami mendampingi IKM hingga proses mendapatkan sertifikat,” kata dia.
SHINTA M