Presiden Joko Widodo bersiap meninggalkan aula VIP Lancang Kuning Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, Rabu, 26 November 2014. Jokowi akan meninjau lokasi bekas kebakaran lahan gambut di Kepulauan Meranti, Riau. ANTARA/Rony Muharrman
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi anti-mafia tambang yang merupakan gabungan dari ICW, Auriga, PWYP Indonesia, Seknas Fitra, Article 33 Indonesia, Icel, IWGFF, TII, IESR, IPC, Pattiro, MPM PP Muhammadiyah meminta Presiden Joko Widodo melakukan blusukan tambang. Kebijakan ini dilakukan untuk mengurai carut marutnya pengelolaan tambang saat ini. (Baca: Empat Sektor Ini Rawan Penyelewengan Pajak)
Koordinator PWYP Indonesia Maryati menilai inistiatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koodinasi dan supervisi di bidang mineral dan batubara (minerba) di 12 provinsi, berjalan lamban. Komisibelum menunjukan hasil signifikan, sehingga perlu upaya keseriusan dari pemerintah.
"Makanya kami menyerukan Presiden Jokowi, baik menteri, instansi sektoral maupun penegak hukum terkait melakukan blusukan secara langsung," ujarnya dalam keterangan persnya, di sekretariat ICW, Jakarta, Ahad, 7 Desember 2014.
Akibat pengelolaan sektor pertambangan yang carut marut, menurut Koalisi, pemerintah menanggung kerugian hingga triliunan rupiah dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010-2013. "Hal ini menunjukan masih lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia," ujar Maryati.
Presiden Joko Widodo sedang menggalakkan pendapatan dari sektor pertambangan. Pemerintah akan menggenjot pendapatan dari sektor ini.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak Mardiasmo sebelumnya menyatakan hanya 20 persen perusahaan tambang yang membayar pajak. Adapun sisanya, tak memiliki nomor pokok wajib pajak. Mardiasmo mengancam akan menindak tegas perusahaan tambang yang alpa membayar pajak.