Presiden terpilih Joko Widodo berbincang dengan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono disela-sela acara Global Forum ke-6 United Nations Alliance of Civilization di Nusa Dua, Bali, 27 Agustus 2014. TEMPO/Johannes P. Christo
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat Iksan Modjo menyarankan pembahasan mengenai kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dilakukan secara tertutup. Sebab, wacana yang belum jelas soal kenaikan harga BBM subsidi justru mendorong pembelian secara masif oleh masyarakat.
"Pembicaraan kenaikan harga ini sebaiknya dibicarakan tim transisi Jokowi dengan pemerintah SBY tak hanya dalam konteks kekeluargaan, tapi juga close room," kata Ikhsan dalam diskusi bertajuk "Bola Panas BBM" yang digelar di Jakarta, Sabtu, 30 Agustus 2014.
Menurut Ikhsan, imbas penyampaian wacana kenaikan harga BBM subsidi sudah terbukti akhir-akhir ini. Hampir sepekan lalu terjadi antrean panjang di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum di berbagai daerah. "Selama ini, meski hanya ada wacana, masyarakat di saat yang sama juga berspekulasi," ujarnya. (Baca: 3 Menteri Ini Jembatani Pemerintahan SBY-Jokowi)
Padahal PT Pertamina (Persero) awalnya hanya melakukan pemangkasan kuota harian BBM di SPBU sebesar 5 persen untuk Premium dan 10-15 persen untuk solar. Namun ternyata dampaknya sangat luar biasa dan memicu kelangkaan BBM di mana-mana. Menurut Ikhsan, ini tidak terlepas dari panic buying masyarakat dalam menanggapi wacana kenaikan harga yang dilempar oleh kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Sebelumnya, penolakan SBY untuk menaikkan harga BBM sudah disampaikan kepada Jokowi di Bali pada Rabu lalu. Penolakan tersebut muncul di tengah kelangkaan pasokan BBM bersubsidi di sejumlah daerah. Kelangkaan disebabkan oleh kebijakan Pertamina yang terpaksa mengurangi pasokan karena pemerintah memangkas kuota BBM dari 48 juta menjadi 46 juta kiloliter dalam APBN Perubahan 2014. Pemotongan kuota ini bertujuan menekan anggaran subsidi agar tak melonjak dari Rp 246,5 triliun.