TEMPO Interaktif,
Jakarta:PT Petrokimia Gresik kehilangan omzet penjualan pupuk urea sekitar Rp 28,35 miliar akibat kemerotan pasokan gas Pertamina yang dieskplorasi Beyond Petroleum (BP) Kangean Ltd di Desa Pagerungan Besar, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Madura. Itu perhitungan selama 20 hari sejak Petro menghentikan produksi di Pabrik I, Rabu (8/1). "Yah, bencana, mau bagaimana lagi? Kami tak bisa apa-apa," ujar Priyanto Wirokaryo, Kepala Humas PT Petrokimia Gresik, pada Tempo News Room, Kamis (9/1). Bencana itu adalah penghentian sementara operasi lima sumur penghasil gas di Pagerungan yang digarap BP Kangean, menyusul terjadinya kebocoran pipa pengumpul di lokasi lepas pantai setempat, Selasa silam. "Penghentian itu untuk menghindari gangguan lingkungan dan keselamatan operasional," ujar Wimpy Wisnu Pambudi, Kepala Perwakilan Operasional Surabaya BP. Dampaknya, suplai gas dari Kangean ke pelanggan di Jawa Timur merosot drastis. Semula 180 juta kaki kubik per hari, kini menjadi 100 juta kaki kubik. Sedang perbaikan instalasi pipa, jelas dia, ditaksir memakan waktu 20 hari. Jumlah pasokan yang terbatas itu dialirkan ke Petrokimia sebesar 15 juta kaki kubik, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Gresik memperoleh 60 juta kaki kubik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) mendapat 40 juta kaki kubik. Bagi Petrokimia, gas sangatlah vital. "Tidak saja untuk bahan baku pupuk, tetapi juga penggerak mesin," ujar Priyanto. Dalam proses produksi, gas tersebut menghasilkan amoniak, kemudian diurai hingga menghasilkan urea. Petrokimia tidak saja menghentikan produksi urea, tetapi juga pembuatan amoniak. Bagaimana dengan pupuk ZA? Ternyata pembuatan pupuk kombinasi amoniak dan asam sulfat itu tidak terganggu. "Masih jalan terus," ujar Priyanto. Dia menjelaskan pembuatan ZA1 dan ZA3 masih bisa ditangani Pabrik I. Sedang Pabrik III PT Petrokimia memproduksi ZA2. "Pasokan amoniak untuk pembuatan pupuk ZA masih bisa ditanggulangi dengan cara lain," ujarnya. Selain ZA dan urea, Petrokimia juga menghasilkan pupuk Ponscha dan SP36. Bila perbaikan pipa molor dan cadangan gas milik Petrokimia kian mepet, "Ya, kami hanya bisa menghasilkan SP36," tukas Priyanto. Bila situasi normal, Pabrik I sanggup menghasilkan 1.400 ton urea per hari dan 1.350 ton amoniak per hari. Bila harga pasaran satu kilogram urea setara Rp 1.050, lalu penghentian produksi berlangsung 20 hari, "Tinggal mengalikan. Perhitungan kasarnya, selama itu kami kehilangan omzet penjualan Rp 28,35 miliar," jelasnya lagi. Secara normal, Petrokimia butuh 60 juta kaki kubik per hari. Mula-mula kebutuhan ini bisa dipenuhi BP Kangean. Tapi, awal tahun 2002, menyusut menjadi 50 juta kaki kubik. Ini mengakibatkan kapasitas produksi Petro menurun, menjadi 85 persen. Sejak awal diperhitungkan, bila pasokan gas di bawah 40 juta kaki kubik, "Berarti petaka!" ujar Priyanto. Kini, malah anjlok menjadi 15 juta kaki kubik. Sumur gas di Pagerungan dieksplorasi BP Kangean sejak 1993. Mula-mula bisa memproduksi 225 juta kaki kubik per hari. "Tapi, lambat laun mengalami pengurangan alami hingga saat ini hanya 180 juta kaki kubik," ujar Wimpy. Suplai gas itu disalurkan ke Jawa Timur melalui jaringan pipa di dalam laut sepanjang 360 kilometer dan 70 kilometer pipa darat. Sekitar Oktober 2001, telah muncul ribut-ribut soal ketahanan jaringan pipa di bawah laut. BP Indonesia mengkhawatirkan terjadi kebocoran dan kerusakan pipa distribusi gas milik Pertamina. Pasalnya, jaringan pipa mengapung di kedalaman laut, tanpa penyangga, yang amat rentan oleh tekanan arus air. Jika rusak, sangat mungkin menyulut kebakaran atau ledakan. Selain itu juga mengancam tenggelamnya kapal yang berlayar. Saat itu BP mengancam menghentikan produksi gas di Pagerungan bila Pertamina tidak melakukan pengamanan. Kerusakan di bawah laut itu kini terbukti. Tapi, bukan terjadi pada jaringan pipa distribusi gas milik Pertamina, melainkan pada transmisi milik BP Kangean Ltd di Pagerungan. Apa sebab kebocoran? Belum ada penjelasan resmi. Sumber di BP menjelaskan posisi kebocoran itu terjadi pada kedalaman 84 meter dari permukaan laut. Dia juga yakin kerusakan berasal dari buruknya kualitas pipa. "Kenapa buruk? Ya mungkin kontrol saat pengerjaan juga buruk. Pengelasan tidak sempurna. Padahal bila bagus bisa bertahan 30 tahun," ujar sumber itu. Dia mengatakan, kebocoran itu terjadi pada pipa nomor satu dari lima pipa di lapangan itu. Namun, kelima pipa tadi terhubung ke dalam satu tangki penampungan. Sehingga semuanya harus ditutup. "Begitu diketahui bocor, maka semua klep ditutup. Mau nggak mau, kelima pipa itu ditutup semua," katanya. Kini BP mendatangkan bantuan kapal dan peralatan dari Singapura, yakni Diving Vessel Owen Tide. Kapal ini diperkirakan tiba di Kangean pada akhir pekan nanti. Selain BP Kangean LTD, pasokan gas di Jawa Timur juga disuplai oleh dua pemain. Tapi, produksi mereka masih kecil. Codeco yang mengekplorasi gas di Wunut, Gresik, hanya sanggup memasok 80 juta kaki kubik per hari. Lalu, Lapindo Brantas yang punya sumur di Sidoarjo memasok 30 juta kubik. Total Jawa Timur mendapat 270-290 juta kaki kubik per hari. "Padahal, potensi maksimum konsumen di Jawa Timur bisa mencapai 600-700 juta kaki kubik per hari," ujar Trijono, Kepala Cabang Perusahaan Gas Negara Unit Distribusi Wilayah II Jawa Bagian Timur. Dia menggambarkan saat ini gas semakin diminati oleh indutsri maupun rumah tangga. Apalagi di tengah kenaikan harga BBM saat ini. Trijono membandingkan harha solar Rp 1.890 per liter. Sedang gas Rp 1.050 tiap meter kubik. "Jauh lebih murah kan," ujarnya. Pelanggan PGN pun melesat setelah pemerintah mencabut subsidi BBM. Tercatat 4.600 pelanggan rumah tangga. Dua tahun lalu hanya 600 pelanggan. Sedang pelanggan industri mencapai 160 pabrik. Dengan merosotnya pasokan dari Kangean, Trijono telah meminta pengertian para pabrik pelanggan. "Sementara mereka diminta mengganti dengan BBM," ujarnya. Adi Sutarwijono/Sunudyantoro --- TNR