Seorang pekerja saat mengolah nikel di smelter atau peleburan nikel PT Vale Tbk, dekat Sorowako, Sulawesi (8/1). Kebijakan larangan Indonesia terhadap ekspor bijih mineral utama mempengaruhi keefektivitasan untuk berinvestasi di peleburan bahan tambang. REUTERS/Yusuf Ahmad
TEMPO.CO, Jakarta - Larangan ekspor mineral yang diberlakukan pemerintah pada 12 Januari 2014 membuat resah negara lain, salah satunya Jepang. Menurut Menteri Perindustrian Mohammad Suleman Hidayat, pelaku industri dan pemerintah Jepang sangat terganggu dengan kebijakan ini. (Baca: Peraturan Tak Jelas, Ekspor Mineral Diboikot).
Masalah ini diutarakan Duta Besar Jepang Yoshinori Katori saat bertemu dengan Hidayat pada Rabu, 19 Maret 2014. "Dia tadi meminta bantuan, ada masalah yang harus dipecahkan terkait dengan larangan ekspor mineral," kata Hidayat di kantornya.
Hidayat menyatakan Katori meminta dirinya menjembatani pertemuan bilateral antara pejabat tinggi Jepang dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Katori, kata Hidayat, mengatakan Jepang sangat terganggu dengan kebijakan yang melarang ekspor mineral mentah. "Saya bilang, silakan saja diatur. Tetapi saya menegaskan pemerintah Indonesia tidak akan berubah pikiran," ujarnya.
Jepang adalah salah satu negara tujuan ekspor nikel Indonesia. Pada 2011, Jepang mengimpor 1,95 juta ton bijih nikel dari Indonesia atau 53 persen dari seluruh kebutuhannya. Namun saat ini, kata Hidayat, porsi nikel asal Indonesia menurun hingga 44 persen. "Meski turun, kita masih dominan dan tak tergantikan." (Baca juga: 2020, Nilai Ekspor Mineral Ditargetkan US$ 12 M).
Saat ini, kata Hidayat, beberapa perusahaan Jepang tengah melakukan studi kelayakan untuk membangun smelter di Indonesia. Namun, menurut dia, hal itu tidak akan membuat pemerintah Indonesia memberikan kelonggaran larangan ekspor mineral mentah.
Ketika dikonfirmasi soal agenda pertemuannya dengan Hidayat, Katori hanya menjawab singkat. "Bukan (soal mineral), hanya soal kerja sama yang umum-umum," katanya.