TEMPO.CO, Jakarta - Data pertumbuhan tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang berada di bawah ekspektasi masih menjadi sentimen positif yang menguatkan mata uang regional. Meski begitu, isu mengenai pengetatan di pasar uang dan sistem perbankan bayangan Cina menjadi sentimen negatif yang menahan rupiah untuk menguat, menembus level Rp 12.000. (Baca juga : Siang Ini Rupiah Pimpin Penguatan Mata Uang Asia)
Menurut ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, akibat kurang bagusnya data-data perekonomian AS, pasar negara berkembang (emerging market) secara umum masih dilanda sentimen positif. Data non-farm payroll yang diketahui hanya bertumbuh 113 ribu dianggap tak cukup mampu memenuhi harapan pelaku pasar. “Sentimen positif masih berlangsung di emerging market,” katanya.
Di sisi lain, nilai imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US treasury) yang turun 1,74 basis poin ke level 2,683 persen juga menambah sentimen positif terhadap rupiah. Kebijakan moneter AS tersebut tentu saja akan meningkatkan minat investor global untuk terus berinvestasi di pasar negara berkembang. (Lihat juga : Kurs Regional Naik, Merespons Data Negatif AS)
Sayangnya, laju penguatan mata uang regional agak sedikit tertahan oleh agenda pidato perdana Ketua bank sentral AS (The Fed), Janet Yellen, yang direncanakan pada Selasa dan Kamis pekan ini. Pidato yang mendeskripsikan visi Yellen tersebut diperkirakan akan menjelaskan seberapa jauh agresifitas pemangkasan stimulus moneter (tapering off) ke depan.
Pada pukul 13.00 WIB, kurs regional tampak bergerak variatif. Nilai tukar rupiah diketahui turun tipis 2 poin (0,02 persen) ke level Rp 12.163 per dolar AS. Yen dan ringgit juga mengalami pelemahan, masing-masing ke level 102,44 per dolar AS dan 3,334 per dolar AS. Sementara itu, won dan rupee justru mampu melanjutkan penguatan ke level 1.071,07 per dolar dan 62,186 per dolar.