TEMPO.CO, Jakarta - General Manager Small and Medium Enterprise Standard Chartered Bank Indonesia Micha Tampubolon optimistis banknya mampu menahan rasio kredit bermasalah (NPL) di sektor Usaha Kecil dan Menengah di bawah 1 persen pada kuartal keempat 2013. Alasannya, kata dia, sektor UKM saat ini sedang berkembang pesat di Indonesia.
Untuk menekan rasio NPL, Standard Chartered Bank mempelajari profil perusahaan nasabah. Kendati mengakui risiko karakter nasabah sulit dihindari, menurut Micha, risiko tersebut tidak membuat rasio NPL berubah signifikan.
Standard Chartered Bank berupaya meningkatkan angka pertumbuhan kredit UKM berupa fasilitas pinjaman properti komersial dan pinjaman dengan jaminan properti. Ia menuturkan fasilitas tersebut diharapkan menambah pendapatan bank sebesar 5 persen di tahun mendatang.
Fasilitas tersebut memberikan nasabah pilihan untuk membiayai produk bisnis baru maupun penggunaan properti yang telah dimiliki sebagai jaminan. Nilai kredit yang diberikan, ujar dia, mulai Rp 200 juta hingga Rp 100 miliar untuk pembiayaan bisnis baru. Sementara untuk produk properti komersial, nilai maksimal penyalurannya yakni Rp 17 miliar.
Sedangkan penyaluran kredit UKM secara keseluruhan, kata Micha, Standard Chartered Bank menargetkan 30 persen dari porsi total pendapatan. Pertumbuhan pinjaman UKM, kata dia, hingga semester I tahun 2013 mencapai Rp 1 triliun. Ia mengatakan nilai tersebut masih bersifat fluid karena baru diluncurkan selama satu tahu. "Masih memungkinkan nilainya tumbuh karena trennya naik di semester kedua," kata dia.
Micha menuturkan nasabah kredit UKM yang seluruhnya berbentuk perusahaan ini bergerak di antaranya di bidang makanan dan minuman, kimia dan farmasi, properti, autoparts, dan komoditi. Ia mengatakan sebagian besar perusahaan tersebut berbasis ekspor guna memanfaatkan jaringan Standard Chartered Bank yang tersebar di 70 negara. "Prospek di sektor ini masih luas," ujarnya.