TEMPO Interaktif, Jakarta: Rencana penutupan Pabrik pupuk Aceh Asean Fertilizer (AAF) masih harus menunggu persetujuan negara-negara Asean yang juga menjadi salah satu pemegang saham. Meskipun Indonesia merupakan pemegang saham mayoritas, menurut Menteri Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Djakti, Indonesia tetap harus menghormati kerja sama yang ditandatangani semasa Presiden Soeharto tersebut. "Kita tidak bisa begitu saja membubarkan kerja sama itu karena ada pabrik serupa di Malaysia," kata Dorodjatun kepada wartawan usia menghadap Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara Jakarta, Rabu (6/10). Saat ini, perundingan dengan negara-negara Asena masih dilakukan oleh tim yang dipimpin Menteri Luar negeri Hassan Wirajuda. Penutupan pabrik pupuk itu sendiri, menurut Dorodjatun, tidak bisa dihindarkan lagi. Suplai gas dari lapangan gas di Aceh sudah tidak mencukupi lagi untuk menopang hidup tiga pabrik pupuk. Selain AAF dan pupuk Iskandar Muda I, tahun depan juga akan beroperasi pabrik pupuk Iskandar Muda II. Apalagi, pabrik pupuk AAF juga dinilai tidak efisien lagi karena terlalu tua. Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) yang juga direktur utama holding Company pabrik pupuk, Dadang Heru Kodri, mengaku belum tahu rencana penutupan tersebut. "Saya belum mendapat informasi pasti tentang keputusan pemerintah tersebut," katanya saat ditemui usai menghadiri HUT ke 59 TNI di Palembang, Selasa (5/10).Menurut Dadang, pihak industri pupuk memang sedang melakukan studi terhadap pabrik pupuk PT AAF tersebut. "Untuk mengetahui dampak atas penutupan pabrik tersebut tentu akan dilakukan studi, dan akan digunakan lembaga yang independent agar hasil studinya lebih baik dan solusinya tepat," katanya.Sapto P. dan Arif Ardiansyah - Tempo
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.
Mengesahkan undang-undang baru sebagai pengganti atau revisi UU Minyak Bumi dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 adalah hal mendesak yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan DPR pada akhir tahun ini. Mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi Mahkamah Konstitusi (2003, 2007, dan 2012), di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan banyak pasal dari undang-undang tersebut.