Jumlah Penduduk Miskin Turun

Reporter

Editor

Senin, 17 Mei 2004 17:50 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Setelah krisis ekonomi pada 1997 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan turun hampir separuhnya. Jika pada tahun 1999 saat krisis penduduk di bawah garis miskin bertambah menjadi 23,4 persen dari jumlah total penduduk miskin 48 juta jiwa, pada 2003 angka kemiskinan turun menjadi 17,4 persen dari total 37,3 juta orang miskinDemikian hasil Survei Sosial-Ekonomi Nasional yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan dipresentasikan pada peluncuran buku Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di gedung Bappenas, Senin (17/5).Proporsi jumlah penduduk di bawah garis miskin tahun 2003 merupakan jumlah paling rendah setelah Indonesia dilanda krisis. Meski begitu, angka ini masih jauh di atas angka miskin saat sebelum krisis yakni pada 1990 yang jumlahnya 15,1 persen dari total penduduk miskin 27,1 juta dan menurun menjadi 11,3 persen dari 22,2 juta orang miskin pada tahun 1996.Kriteria yang dipakai Bappenas untuk menetapkan penduduk miskin mengacu pada batas internasional yakni penduduk yang mempunyai pendapatan di bawah US$ 1 per hari dan US$ 2 per hari untuk penduduk miskin. Survei dilakukan dengan berpatokan pada harga-harga kebutuhan pada tahun 1998. Dari hasil survei Bappenas itu juga menunjukan ada sejumlah penduduk yang rentan terperosok ke bawah garis miskin. Bank Dunia menghitung 9,6 juta penduduk di perkotaan rentan menjadi kelompok di bawah garis miskin. Sementara 24,9 juta lainnya terdapat di pedesaan. Padahal tahun ini, seperti yang ditargetkan Propenas, penduduk miskin ditargetkan turun lagi menjadi 14 persen. Bappenas dan lembaga PBB yang menganalisis data itu memperkirakan jumlah penduduk di bawah garis miskin akan berkurang separuhnya pada 2015 dari jumlah penduduk di bawah garis miskin tahun 1990 yakni sebesar 7,5 persen. Dalam sambutannya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie mengatakan kriteria kemiskinan merupakan tolok ukur pertama untuk mengukur pencapaian sektor lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, kesetaraan jender, dan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan.Indikator-indikator tersebut tertuang dalam Tujuan Perkembangan Millenium di mana Indonesia ikut bergabung dengan KKT Milenium pada September 2000. "Tapi sasarannya tetap mengacu pada kondisi dan tujuan pembangunan Indonesia sendiri," kata Kwik. Kwik memaparkan laju pertumbuhan penduduk juga menurun selama kurun sepuluh tahun. Jika pada periode 1971-1980 laju pertumbuhan mencapai 2,32 persen, pada periode 1990-2000 turun menjadi 1,49 persen. Angka kelahiran total juga turun dari 5,6 anak per wanita produktif pada 1971 menjadi 2,6 anak pada 2002. Sedangkan angka kematian balita turun dari 210 per 1.000 kelahiran hidup pada 1960 menjadi 46 pada 2000.Meski terjadi angka penurunan di beberapa indikator, Kwik menilai proses pembangunan masih tersendat. Hal itu, katanya, tercermin dari lambannya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu masih rendahnya kesejahteraan dan daya dorong ekonomi. Kwik juga mengkritik lembaga-lembaga keuangan internasional yang bukannya membantu negara-negara miskin malah memperkeruh laju pembangunan negara-negara yang ditanganinya. Ia mencontohkan Kenya dan Ethiopea yang dipaksakan mengikuti perdagangan bebas oleh IMF malah makin terpuruk ekonominya. "Begitu juga yang terjadi di Indonesia," katanya.Kwik juga menyentil kerja anak buahnya yang melakukan survei sebatas tingkat propinsi. Padahal, katanya, untuk mencerminkan jumlah penduduk miskin sebenarnya, survei harus dilakukan hingga tingkat kabupaten/kota. Cara ini juga untuk menghindari penggunaan dana pinjaman yang dipakai mengurangi jumlah orang miskin. Pendapatan nasional dari pajak, kata Kwik, sebaiknya dialokasikan untuk mengurangi jumlah orang miskin. "Jangan berambisi besar dengan banyak proyek tanpa ada duit lalu pinjam dengan bunga tinggi," katanyaPendapat Kwik juga diamini Duta Besar Khusus PBB untuk Asia Pasifik Erna Witoelar. Menurut Erna, pengentasan kemiskinan yang diserahkan ke daerah jauh lebih efektif daripada ditangani secara nasional yang selalu mengandalkan pinjaman Bank Pembangunan Asia atau Bank Dunia. "Akibatnya sekarang dana itu terkonsentrasi dipusat dan habis untuk biaya, bukan pengentasan kemiskinan sendiri," kata Menteri Pemukiman di era Presiden Abdurrahman Wahid ini. Meski begitu Erna memuji kemajuan yang dicapai pemerintah melalui survei itu. "Tidak terlalu buruk, tapi belum optimal," katanya. Ia menilai kesenjangan antar daerah masih tinggi dan makin parahnya kerusakan lingkungan hidup. Bagja Hidayat Tempo News Room

Berita terkait

PBB: Kehancuran Bangunan di Gaza Terburuk Sejak PD II, Butuh Biaya Rekonstruksi Hingga US$40 Miliar

11 jam lalu

PBB: Kehancuran Bangunan di Gaza Terburuk Sejak PD II, Butuh Biaya Rekonstruksi Hingga US$40 Miliar

PBB melaporkan kehancuran perumahan di Gaza akibat serangan brutal Israel sejak 7 Oktober merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia II.

Baca Selengkapnya

Profil Kota Ternate, Berdiri Sejak 27 April 1999 Sesuai UU Otonomi Daerah

6 hari lalu

Profil Kota Ternate, Berdiri Sejak 27 April 1999 Sesuai UU Otonomi Daerah

Hari ini, 27 April 1999, adalah berdirinya Kota Ternate berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Baca Selengkapnya

10 Negara Termiskin di Dunia Berdasarkan PDB per Kapita

7 hari lalu

10 Negara Termiskin di Dunia Berdasarkan PDB per Kapita

Berikut ini daftar negara termiskin di dunia pada 2024 berdasarkan PDB per kapita, semuanya berada di benua Afrika.

Baca Selengkapnya

Istana Pastikan Jokowi Tak Hadiri Penyematan Satyalencana kepada Gibran hingga Bobby

8 hari lalu

Istana Pastikan Jokowi Tak Hadiri Penyematan Satyalencana kepada Gibran hingga Bobby

Istana Kepresidenan memastikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak akan hadir dalam Peringatan Hari Otonomi Daerah (Otoda) XXVIII

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Bertemu Managing Director IFC, Apa Saja yang Dibicarakan?

11 hari lalu

Sri Mulyani Bertemu Managing Director IFC, Apa Saja yang Dibicarakan?

Sri Mulyani melakukan pertemuan bilateral dengan Managing Director IFC Makhtar Diop di Washington DC, Amerika Serikat. Apa saja yang dibicarakan?

Baca Selengkapnya

Prabowo Bertemu Tony Blair Bahas Strategi Pengentasan Kemiskinan hingga Pemberdayaan Ekonomi Lokal

13 hari lalu

Prabowo Bertemu Tony Blair Bahas Strategi Pengentasan Kemiskinan hingga Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Tony Blair dan Prabowo Subianto berdiskusi membahas isu-isu global dan strategi untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maju

Baca Selengkapnya

Muhadjir Effendy Sebut Anggaran Rp 496,8 Triliun untuk Perlinsos Sudah Disetujui DPR

28 hari lalu

Muhadjir Effendy Sebut Anggaran Rp 496,8 Triliun untuk Perlinsos Sudah Disetujui DPR

Muhadjir Effendy menyebut program perlinsos ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia.

Baca Selengkapnya

Muhadjir Effendy Sebut Bansos Penting untuk Dorong Daya Beli Masyarakat Miskin

28 hari lalu

Muhadjir Effendy Sebut Bansos Penting untuk Dorong Daya Beli Masyarakat Miskin

Tak hanya Muhadjir, tiga menteri lain juga turut memberikan keterangan terkait bansos di sidang sengketa pilpres hari ini.

Baca Selengkapnya

Jepang Kucurkan Bantuan untuk Produksi Kakao Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Gorontalo

39 hari lalu

Jepang Kucurkan Bantuan untuk Produksi Kakao Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Gorontalo

Bantuan Jepang ini, diharapkan bisa menaikkan pendapatan petani berskala kecil dan mengentaskan kemiskinan di Provinsi Gorontalo

Baca Selengkapnya

Dampak Perang Gaza, Angka Pengangguran di Palestina di Atas 50 Persen

45 hari lalu

Dampak Perang Gaza, Angka Pengangguran di Palestina di Atas 50 Persen

ILO memperkirakan jika perang Gaza masih berlanjut sampai akhir Maret 2024, maka angka pengangguran bisa tembus 57 persen.

Baca Selengkapnya