TEMPO Interaktif, Jakarta:Dua perusahaan minyak dan gas asing, Royal Vopac asal Belanda dan Oil Tanking asal Singapura, menyatakan minatnya berinvestasi di sektor hilir migas. Keduanya bersedia membangun infrastruktur tempat penyimpanan BBM di Indonesia.Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hilir Migas (BP Hilir), Tubagus Haryono, di Jakarta, Kamis (13/5), mengatakan kedua perusahaan itu akan segera membangun tempat penyimpanan sesuai permintaan BP Hilir. Hal itu penting untuk menjaga keamanan pasokan BBM dalam negeri. Tubagus menjelaskan, Royal Vopac adalah perusahaan migas asal Belanda yang berbasis di Singapura. Saat ini Vopac memiliki cabang di 26 negara. Sementara Oil Tanking Storage adalah perusahaan Singapura. Sebelumnya, lanjut Tubagus, beberapa perusahaan telah mengajukan permohonan untuk masuk ke sektor hilir, di antaranya Chevron Texaco dan Caltex. Sedangkan enam perusahaan tercatat telah mengantongi izin prinsip dari pemerintah, seperti Shell dan British Petroleum (BP). Untuk melakukan bisnis di sektor tersebut, BP Hilir mengajukan persyaratan, yaitu perusahaan tersebut harus memiliki persediaan atau stok BBM yang berada di wilayah Indonesia. Karena itu mau tidak mau mereka harus membangun tempat penyimpanan di Indonesia. "BBM-nya boleh dari mana saja. Silakan mereka impor. Tetapi storage (tempat penyimpanan) harus ada di Indonesia," ujarnya. Nantinya, perusahaan yang telah memiliki izin dari pemerintah akan memiliki hak monopoli pendistribusian BBM di wilayah tertentu. BP Hilir akan mengatur pembagian wilayah tersebut. Saat ini BP Hilir tengah menyiapkan konsep cetak biru yang mengatur secara rinci mengenai hal itu. Retno Sulistyowati - Tempo News Room
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.
Mengesahkan undang-undang baru sebagai pengganti atau revisi UU Minyak Bumi dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 adalah hal mendesak yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan DPR pada akhir tahun ini. Mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi Mahkamah Konstitusi (2003, 2007, dan 2012), di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan banyak pasal dari undang-undang tersebut.