Ayam Ketawa Ini Masuk Priok Tanpa Dokumen  

Reporter

Editor

Minggu, 11 Desember 2011 08:42 WIB

Kontes Ayam. TEMPO/Kink Kusuma Rein

TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebanyak 67 ekor ayam ketawa masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok tanpa dokumen resmi. Akhirnya Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menyita puluhan ayam tersebut karena tidak dilengkapi dengan surat-surat resmi, baik dari dinas peternakan maupun dari karantina hewan di tempat asal.

Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Banun Harpini mengatakan meski ayam tersebut masuk tanpa dilengkapi dokumen resmi, pihaknya tidak akan memusnahkan karena ayam ketawa merupakan plasma nutfah asli Indonesia.

“Ayam-ayam itu sudah kami periksa dan sehat. Karena itu kami akan serahkan ke Dinas Peternakan DKI dan Kebun Binatang Ragunan " kata Banun ketika dihubungi Tempo, Sabtu 10 Desember 2011.

Banun mengatakan ayam ketawa itu bukan berasal dari luar negeri. Ayam ketawa dibawa oleh penumpang Kapal Laut KM Lambobar yang berangkat dari Makassar pada 29 November lalu.

Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Agus Sunanto, mengatakan dari laporan intelijen saat KM Lambobar bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ayam tersebut rencananya akan diturunkan, tapi ternyata batal. Petugas Karantina Pertanian lalu menunggu hingga KM tersebut bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Setelah diperiksa, ujar dia, ternyata pemilik ayam tersebut tidak bisa menunjukkan dokumen atau sertifikat kesehatan hewan dari Dinas Peternakan dan melapor ke Karatina Hewan. “Pihak Karantina sudah meminta pemiliknya untuk mengurus dokumen. Namun dalam jangka waktu tiga hari yang ditetapkan Karantina ternyata pemiliknya tidak juga bisa melengkapi dokumen,” ujarnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, setiap hewan dan tumbuhan yang diperdagangkan harus dilengkapi dokumen Sertifikat Kesehatan Hewan dari daerah asal. Selain itu juga melapor ke pihak karantina.

Karena tidak bisa melengkapi dokumen, pihak Karantina akhirnya menyita ayam-ayam yang rencananya akan dibawa ke Jambi, Sukabumi, dan Bekasi itu. Sebagai ayam koleksi, nilai ayam ketawa memang relatif mahal. Harga ayam ketawa dewasa mencapai Rp 3-4 juta per ekor, sedangkan harga anak ayam sekitar Rp 500 ribu per ekor.

Dari hasil pemeriksaan terhadap 67 ayam ketawa yang disita, ternyata, 1 ekor ternyata sudah mati. Sedangkan ke-66 ayam lainnya lalu dibawa ke Instalasi Balai Besar Karantina Soekarno-Hatta untuk pengambilan sampel dan diperiksa di laboratorium. Dari hasil pemeriksaan oleh petugas laboratorium, ayam tersebut ternyata bebas dari virus flu burung atau HPAI (high pathogenic avian influenza).

“Dengan masih merebaknya wabah flu burung di beberapa wilayah Indonesia pemerintah memang memperketat perdagangan unggas,” kata dia.

Sementara itu Kepala Badan Layanan Umum Daerah Taman Margasatwa Ragunan, Enny Pudjiwati, mengatakan pihaknya bersedia menampung ayam ketawa yang disita tersebut. Selama ini, kata dia, pihaknya juga kerap menerima titipan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Kehutanan. Misalnya orang utan, elang, dan satwa-satwa lain yang dilindungi.

“Kami berharap ayam ketawa bisa jadi koleksi Ragunan. Kami juga sering mendapat hewan titipan. Ada yang merupakan hasil sitaan dari orang yang memelihara atau sitaan yang akan diperdagangkan. Ada juga dari kesadaran masyarakat yang langsung menyerahkan,” kata Enny.

ROSALINA

Berita terkait

1,4 Juta Kilogram Hortikultura Impor Tertahan, Ombudsman: Kementan Izinkan Dilepas dengan Syarat

22 September 2022

1,4 Juta Kilogram Hortikultura Impor Tertahan, Ombudsman: Kementan Izinkan Dilepas dengan Syarat

Ombudsman RI mengaku telah menerima respons dari Kementan soal penahanan 1,4 juta kilogram produk impor hortikultura di tiga pelabuhan.

Baca Selengkapnya

Kemendag: 171 Jenis Produk di Pasaran Tidak Memenuhi Ketentuan

11 Desember 2017

Kemendag: 171 Jenis Produk di Pasaran Tidak Memenuhi Ketentuan

Kementerian Perdagangan telah melakukan pengawasan terhadap 3.224 jenis merek dari 582 jenis produk yang beredar di pasaran sepanjang 2017. "

Baca Selengkapnya

Naduk Batal Jadi Pulau Khusus Karantina Ternak, Ini Alasannya

8 Juni 2017

Naduk Batal Jadi Pulau Khusus Karantina Ternak, Ini Alasannya

Badan Karantina akan menyerahkan kembali rencana pembangunan karantina ternak kepada pemerintah.

Baca Selengkapnya

DPR: Balai Karantina Jadi Benteng Pertahanan Negara  

3 Mei 2016

DPR: Balai Karantina Jadi Benteng Pertahanan Negara  

DPR meminta pemerintah memperkuat balai-balai karantina di daerah sebagai salah satu benteng pertahanan negara.

Baca Selengkapnya

Regulasi Tak Jelas, Pemerintah Diminta Bentuk Badan Karantina

2 September 2015

Regulasi Tak Jelas, Pemerintah Diminta Bentuk Badan Karantina

Badan karantina nasional dapat meningkatkan efisiensi.

Baca Selengkapnya

Rizal Ramli Ingin Jadikan Pulau Seribu sebagai Tempat Ini

25 Agustus 2015

Rizal Ramli Ingin Jadikan Pulau Seribu sebagai Tempat Ini

Rizal Ramli menilai perlu ada suatu kawasan yang ditunjuk sebagai tempat pemeriksaan atau karantina bagi barang-barang impor yang dianggap berbahaya.

Baca Selengkapnya

Sehat dan Vital dengan Apel tanpa Bakteri

1 Februari 2015

Sehat dan Vital dengan Apel tanpa Bakteri

Apel California tercemar bakteri Listeria monocytogenes di lokasi pengemasan, bukan dari perkebunan.

Baca Selengkapnya

Alasan Konsumen Beli Apel 'Maut' Granny Smith  

30 Januari 2015

Alasan Konsumen Beli Apel 'Maut' Granny Smith  

Warga di Malang banyak membeli apel Granny Smith yang tercemar bakteri Listeria monocytogenes.

Baca Selengkapnya

Apel 'Maut' Amerika Masih Ada di Padang  

30 Januari 2015

Apel 'Maut' Amerika Masih Ada di Padang  

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Padang menyarankan agar Apel Granny Smith dan Gala Royal yang berbahaya dikembalikan ke importir.

Baca Selengkapnya

Bogor Tarik Peredaran Dua Jenis Apel Maut Amerika

28 Januari 2015

Bogor Tarik Peredaran Dua Jenis Apel Maut Amerika

Pemerintah Kota Bogor telah menarik semua peredaran dua jenis apel asal California Amerika Serikat

Baca Selengkapnya