Ekspor Pakaian dan Mebel Terpukul Akibat Krisis Amerika
Senin, 31 Oktober 2011 05:04 WIB
TEMPO Interaktif, YOGYAKARTA :-Pengaruh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan Eropa terhadap ekspor barangg dari Yogayakarta sangat terasa di sektor pakaian dan perabot rumah tangga. Sebab, dua sektor perdagangan itulah yang diserap oleh negara-negara di dua benua itu.
"Berbagai produk di dua sektor itu tidak bisa diserap oleh negara-negara yang dilanda krisis ekonomi itu," kata Peneliti Ekonomi Senior Bank Indonesia Yogyakarta, Fadhil Nugroho, Minggu 30 Oktober 2011.
Negara-negara maju yang biasa menerima barang dari Daerah Istimewa Yogyakarta itu menanggung utang yang melebihi kemapuan bayar. Sehingga sejak krisis ekonomi 2008 yang lalu sampai saat ini diperparah dengan krisi ekonomi baru.
Ia menyatakan, sebesar 42 persen hingga 45 persen produk ekspor di Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini terserap ke Pasar Amerika. Sedangkan 30 persen hingga 33 persen persen masuk ke pasar Eropa.
Ekspor dari Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini mengandalkan 21 produk . Dari 21 produk tersebut enam di antaranya berkapasitas besar. Dua tahun terakhir, seluruh produk unggulan mengalami kesulitan produksi karena sepinya permintaan (order).
Jenis perabot rumah tangga (permebelan) pada 2010 lalu, penurunan mencapai 50 persen. Bahkan di 2011 ini ditambah 16 persen penurunannya. Penurunan penjualan komoditi ekspor di sektor pabrikan pakaian dan perabot rumah tangga ini jelas mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Ia menambahkan, beberapa produsen juga terancam gulung tikar. Itu juga akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja karyawan.
Bank Indonesia, ia menambahkan, sudah menurunkan rate sebesar 6.5 persen dari angka 6,7 persen. Harapannya, perusahaan tetap bisa memproduksi dan mencari pasar baru karena bunga. Bank juga diharapkan turun."Kondisi ini juga mengakibatkan bertambahnya pengangguran," kata Fadhil.
Pengangguran di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini tercatat sebanyak 123 ribu orang. Namun secarra umum perekonomian di Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk bagus.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang bagus itu, kata dia tidak dinikmati secara merata bagi para penduduk. Pangsa ekonomi sebesar 50 persen didominasi Kota Yogyakarta dan Sleman. Sedangkan tiga kabupaten lain seperti Bantul, Gunungkidul apalagi Kulonprogoro pergerakan ekonominya sangat lemah.
Ditambahkan oleh Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta, Dewi Setyowati krisis ekonomi global tidak selalu berdampak negatif. Sebab, banyak dana investasi dari luar negeri masuk ke Yogyakarta.
Menurut catatannya, dana pihak ke tiga yang masuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta melalui sektor perbankan mencapai Rp27,6 triliun. Rp 17 triliun di antaranya telah dikucurkan ke masyarakat melalui kredit.
"Kami membua video potensi ekonomi di semua sektor untuk menarik para investor," kata dia.
MUH SYAIFULLAH