Pemerintah Tuntut Perusahaan Thailand Bayar Ganti Rugi
Senin, 26 September 2011 13:37 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah berkukuh meminta ganti rugi pada kasus pencemaran minyak Montara di Laut Timor. Menteri Perhubungan Freddy Numberi menuntut perusahaan minyak dan gas asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), bersedia menandatangani nota kesepahaman penyelesaian ganti rugi.
"Besaran besaran ganti rugi bisa dinegoisasi, bukan harga mati. Yang penting mengakui dan harus mengganti kerugian,” kata Freddy, Senin 26 September 2011. Pemerintah, kata dia, tak mempermasalahkan jika PTTEP meminta verifikasi kerusakan dan nilai kerugian. “Silakan verifikasi, kami tak masalah."
Dia menambahkan, PTTEP sudah mengirim tim untuk verifikasi. Pemerintah menunggu hasil kerja tim tersebut. “Bila nanti ada perbedaan hasil, itu bisa dinegoisasikan."
PTTEP Australia adalah pengelola ladang minyak Montara yang meledak di Blok Atlas, Australia Utara, pada 21 Agustus 2009. Perusahaan ini digugat pemerintah untuk membayar ganti rugi senilai Rp 23,27 triliun. Tuntutan ini, kata Freddy, didasari data dan bukti adanya pencemaran minyak di sekitar Laut Timor, Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan pemerincian pemerintah, kilang minyak Montara telah menumpahi wilayah seluas 28.663,1 kilometer persegi. Tumpahan berada di 14 desa di Pulau Rote, Kabupaten Rote, dan 8 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kupang. Estimasi tumpahan minyak di sejumlah daerah itu sebanyak 400 barel atau 64 ton per hari. Kejadian ini berlangsung selama 75 hari sejak 21 Agustus hingga 3 November 2009.
Dari tumpahan tersebut, pemerintah meminta PTTEP mengganti kerugian sebanyak Rp 23,27 triliun. Perinciannya Rp 17,14 triliun untuk kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan (kerugian lingkungan sebanyak Rp 10 triliun, sosial ekonomi Rp 6,3 triliun dan Rp 800 miliar untuk klaim nelayan).
Sedangkan biaya lainnya, sebanyak Rp 4,5 triliun, untuk biaya pemulihan, Rp 1,62 triliun untuk longterm monitoring selama 10 tahun, dan biaya operasional tim sebanyak Rp 1,9 miliar. Klaim ini sudah didasari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 2011.
Sebelumnya, Executive Vice President PTTEP, Luechai Wongsirasawad, menyatakan pihaknya belum menemukan adanya bukti terjadinya pencemaran dan kerusakan sumber daya alam di teritorial laut Indonesia. "Sampai saat ini memang tidak ada kerusakan, kecuali Pemerintah Indonesia dapat memberikan bukti ilmiah terkait hal tersebut," ujar Luechai saat berkunjung ke Tempo.
NUR ROCHMI