TEMPO Interaktif,
Jakarta:Setelah Nahdatul Ulama (NU), kini giliran Muhammadiyah yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa terbuka yang mengharamkan bunga bank. "Harus dipikirkan masak-masak soal itu," ujar Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, kepada
Tempo News Room, di sela-sela acara silaturahmi di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Sabtu (08/11) siang. Menurut Din Syamsuddin, sebelum DSN-MUI mengeluarkan fatwa terbuka yang mengharamkan bunga bank konvensional, seharusnya dipikirkan terlebih dulu berbagai dampak positif dan negatif yang bisa ditimbulkan termasuk di antaranya kemungkinan timbulnya
rush atau penarikan dana besar-besaran dari bank konvensional. Selama ini, kata Din, banyak umat Islam yang menabung di perbankan konvensional yang berbasis riba karena jangkauan perbankan syariah yang belum meluas. Hal ini, menurutnya, diperbolehkan karena hukumnya darurat. Apabila fatwa MUI tersebut dikeluarkan, kata Din, tidak boleh ada lagi pemakluman akibat keadaan darurat tersebut. "Karenanya benar-benar harus dikaji sampai sejauh mana kesiapan bank syariah yang ada," katanya. Berdasarkan pertimbangan itu, menurut Din, yang juga menjadi Sekretaris Umum MUI Pusat, tidak semua ulama dalam MUI setuju terhadap niat Dewan Syariah Nasional untuk mengeluarkan fatwa terbuka tentang bunga bank. "Saya sendiri termasuk yang berusaha menahan agar fatwa tersebut tidak dikeluarkan," ujarnya. Din sendiri menolak berkomentar ketika ditanya sampai sejauh mana perbedaan pendapat dalam MUI menyangkut fatwa tentang bunga bank ini. Yang jelas, menurutnya, fatwa tersebut tidak akan keluar sampai terjadi kesepakatan dan pemahaman yang bulat di kalangan ulama MUI sendiri.Din juga mengaku saat ini Majelis Tarjih Muhammadiyah juga tengah membahas kembali tentang status bunga bank menurut syariat Islam. Pandangan majelis tarjih ini, katanya, yang akan menjadi dasar dan pedoman Muhammadiyah dalam membahas rencana DSN untuk mengeluarkan fatwa terbuka tentang bunga bank. "Saat ini masih dibahas," katanya. Seperti diketahui, Ketua Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), KH Ma'ruf Amin, dalam seminar tentang perbankan Islam di Surabaya beberapa waktu lalu menyatakan bahwa MUI akan mengeluarkan fatwa terbuka tentang keharaman bunga bank akhir tahun ini atau paling lambat akhir tahun depan. Majelis Tarjih Muhammadiyah, lembaga yang memutuskan hukum, dalam beberapa kali sidangnya tahun 1968, 1972, 1976 dan 1989, juga tidak berhasil menetapkan secara tegas keharaman bunga bank. Walaupun menyatakan bahwa bank dengan sistem riba itu haram tetapi majelis berpandangan bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk perkara
musytabihat (tidak tentu halal-haramnya)Sebelumnya, Ketua Lajnah Bahsul Masail Nahdhatul Ulama, Masdar F Masudi, juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap niat MUI mengeluarkan fatwa haram bunga bank. Menurutnya, bunga bank tidak selalu identik dengan riba. Dan karenanya tidak bisa dinyatakan secara umum bahwa bunga bank itu haram, kata Masdar ketika dihubungi Tempo News Room, minggu lalu. Menurut Masdar, bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba apabila bunga tersebut merupakan bagian dari modal. Bunga menjadi bagian dari modal apabila jumlahnya sesuai atau untuk mengkompensasi tingkat inflasi yang terjadi yang mengurangi nilai uang yang ada. Adapun bunga dapat dikategorikan sebagai riba, menurut Masdar, apabila jumlahnya melebihi inflasi atau penurunan nilai mata uang yang terjadi. Dalam contoh di atas, maka bunga dikatakan riba apabila jumlahnya mencapai misalnya 15 persen atau 5 persen diatas inflasi yang 10 persen. Kelebihan 5 persen itu yang dikategorikan riba, katanya. Konsep penurunan nilai mata uang atau
time value of money ini, kata Masdar, sebelumnya tidak dikenal dalam Islam karena mata uang Islam dinar menggunakan emas yang tidak inflatoir. Tetapi karena sistem mata uang kertas yang ada sekarang, maka inflasi bisa terjadi dan itu harus diakui dan diterima, ujarnya. Oleh karenanya, Masdar menilai tidak bisa diberlakukan fatwa terbuka yang berlaku secara umum. Saya sendiri tidak mengetahui secara persis penghitungan bunga di tiap-tiap bank. Tetapi yang jelas harus dilihat kasus per kasus, ujarnya. Masdar sendiri mempersilahkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) untuk mengeluarkan fatwa terbuka tetang bunga bank. Tetapi ia mengingatkan kemungkinan adanya pandangan yang berbeda dari para ulama NU mengenai hukum bunga bank. Selama ini, Lajnah Bahsul Masail, lembaga ijtihad milik NU yang memutuskan status hukum terhadap berbagai masalah kemasyarakatan, dalam sidangnya di Bandar Lampung tahun 1982, tidak berhasil menyepakati hukum bunga bank itu haram. Dalam sidang tersebut, terdapat tiga pandangan para ulama NU. Pertama, yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak sehingga hukumnya haram. Kedua, yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba sehingga hukumnya boleh dan ketiga, yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Amal Ihsan Tempo News Room