Kinerja Bukit Asam Tak Terpengaruh Kasus Floating Crane
Jumat, 30 April 2010 15:14 WIB
“Tidak sama sekali terganggu, direksi masih bekerja sebagaimana biasa,“ kata Sudarto dalam keterangan persnya di Palembang, Jumat (30/4).
Dijelaskan Sudarto, kasus floating crone atau pengadaan alat bongkar muat batubara dengan di Pelabuhan Tarahan Bandar Lampung, merupakan kebijakan bisnis yang rasional dari Bukit Asam dengan perencanaan batubara yang matang.
Bukit Asam, kata Sudarto, telah mengantisipasi pertumbuhan dan permintaan batubara yang makin besar pada tahun-tahun mendatang. Hal ini, kata dia sesuai dengan target jangka panjang perseroaan dan sesuai dengan kontrak antara Bukit Asam dengan PT Kereta Api 12 Oktober 2009.
Angkutan kereta PT Kereta Api ditargetkan mencapai 22,7 juta ton per tahun. Untuk mengantisipasi kenaikan angkutan kereta api secara bertahap tersebut. Bukit Asam sedang mempersiapkan penambahan shiploader (alat muat batubara ke kapal) baru di Palabuhan Tarahan, sehingga nantinya bisa mengisi 2 (dua) kapal secara secara bersamaan yang diperkirakan selesai tahun 2012.
“Sebelum shiploader ini selesai, Bukit Asam di Pelabuhan Tarahanan. Dengan alat ini dimungkinkan pemuatan dua kapal yang datang secara bersamaan di shiploader dan floating crane,” katanya.
Lagipula, kata Sudarto, floting crane tidak dibeli tapi dengan system kontrak jasa. Nilai kontrak jasa sebesar Rp 362,34 miliar dengan total tonase 10,8 juta ton untuk waktu 36 bulan.
Dia juga membantah jika dua pejabat Bukit Asam sudah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus floting crone. “Sampai saat ini, kami belum menerima surat pemberitahuan itu,” katanya.
Ia juga mengakui jika dalam kasus floting crone itu, sudah ada 18 pejabat Bukit Asam di mintai klarifikasi soal floting crone termasuk tiga direksi oleh Kejaksaan Agung. Kasus ini mencuat karena ada laporan dari masyarakat terkait dengan dugaan penyimpangan jasa pengangkutan muatan batubara dengan menggunakan floting crone.
ARIF ARDIANSYAH