Jalan Panjang Kasus Pajak KPC

Reporter

Editor

Selasa, 9 Februari 2010 19:26 WIB

Direktur Jenderal Pajak Muhammad Tjiptardjo saat rapat dengar pendapat dengan komisi XI, di DPR, Jakarta (28/1). Rapat tersebut membahas penerimaan Negara dari Pajak Tahun 2009 dan 2010. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO Interaktif, Jakarta -Menjelang tutup tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak membuat geger. Mochamad Tjiptardjo, Direktur Jenderal Pajak pengganti Darmin Nasution, mengungkapkan dilakukannya penyidikan atas dugaan tindak pidana pajak oleh dua perusahaan tambang batu bara milik Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Bumi Resources Tbk., pada 2007.

Tak hanya itu, saat ini penyidik pajak juga sedang memeriksa kasus serupa yang juga dilakukan milik kelompok usaha Bakrie di industri tambang batu bara lainnya, yakni PT Arutmin Indonesia. “Nilainya kurang lebih Rp 2,1 triliun,” kata Tjiptardjo mengungkapkan nilai pajak yang tak dibayar ketiga perusahaan tersebut. KPC diduga kurang bayar Rp 1,5 triliun, Bumi sebesar Rp 376 miliar, dan Arutmin sekitar Rp 300 miliar.

Jika penyidikan bisa membuktikan kasus ini, maka rekor dugaan tindak pidana pajak pun pecah dari tangan Asian Agri Group yang diduga menggelapkan pajak hingga Rp 1,4 triliun.

Tapi bukan besarnya nilai pajak itu yang membuat geger. Pengumuman dari kantor pusat pajak tadi langsung dihubungkan dengan kasus Bank Century, yang saat itu mulai panas digodok di Panitia Khusus Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Selentingan pun bermunculan, termasuk sinyalemen yang menduga pengusutan pajak tersebut adalah upaya Kementerian Keuangan memukul balik Aburizal Bakrie, yang akrab dipanggil Ical, karena getolnya Partai Golkar di Panitia Angket memojokkan Sri Mulyani dalam kasus kucuran dana talangan Rp 6,7 triliun kepada Century.

Namun, Tjiptardjo berulang kali menampik tudingan tersebut. “Ini kasus 2007, dan sudah disidik sejak Maret 2009,” katanya. “Jauh sebelum kasus Century ada.”

Lantas bagaimana awal mula kasus ini. Seorang penyidik pajak mengungkapkan, kasus KPC berawal dari Surat Pemberitahuan (SPT) KPC tahun pajak 2007 yang disetor ke Kantor Pajak Wajib Pajak Besar, Gambir, pada Maret 2008. Pada SPT itu, KPC mengklaim telah lebih bayar pajak sebesar Rp 30 miliar. Artinya, KPC meminta negara mengganti kelebihan pembayaran tersebut. “Karena ada klaim lebih bayar, dan jumlahnya besar, kami pun memeriksa. Itu biasa dan rutin,” ujarnya.

KPC, kata dia, paling awal diperiksa karena jumlahnya kewajiban pajaknya lebih besar ketimbang dua perusahaan Bakrie lainnya. “Kalau modusnya hampir-hampir mirip.”

Hasil pemeriksaan awal pun keluar, status SPT 2007 dari KPC seharusnya tidak lebih bayar, justru kurang bayar. Atas hal itu, kata sumber tadi, tak kurang upaya yang dilakukan kantor pajak untuk meminta KPC memperbaiki SPT-nya. Bahkan, sumber <I>Tempo</I> lainnya di lingkungan kantor pajak mengatakan Direktur Jenderal Pajak saat itu, yakni Darmin Nasution, turun tangan dengan berbicara kepada petinggi Grup Bakrie. “Intinya agar SPT itu dibetulkan, jangan yang kurang diakui lebih, kalau tidak akan susah karena bisa diperiksa lebih lanjut,” kata sumber tadi.

Celakanya, himbauan dari kantor pusat itu tak digubris. Pemeriksaan pun dilanjutkan dan menemukan adanya indikasi tindak pidana pajak berupa rekayasa penjualan yang dilakukan oleh KPC pada 2007. Penjualan yang seharusnya bisa dilakukan langsung oleh KPC dengan pembeli di luar negeri, dibelokkan terlebih dahulu ke PT Indocoal Resource Limited, anak usaha PT Bumi Resources Tbk., di Kepulauan Cayman.

Penjualan batu bara kepada perusahaan terafiliasi itu hanya dihargai separuh dari harga yang biasa dilakukan jika KPC menjual langsung kepada pembeli. Berikutnya, penjualan ke pembeli lainnya pun dilakukan oleh Indocoal dengan mamakai harga jual KPC biasanya. “Akibatnya omset penjualan batu bara KPC jauh lebih rendah dari perhitungan penyidik jika itu dijual langsung, selisihnya bisa sampai triliunan.”

Rendahnya omset penjualan itu pula yang belakangan diduga menyebabkan kewajiban pajak KPC cukup rendah atau bahkan lebih bayar. Hingga saat ini, <I>Tempo</I> belum bisa mengkonfirmasi soal hal ini kepada KPC. Adapun pengacara KPC, Aji Wijaya, mengaku tak tahu soal hal itu.

Yang menarik, kata sumber tadi, seluruh duit hasil transaksi penjualan yang dilakukan oleh KPC maupun Indocoal masuk ke satu rekening. Bahkan, invoice atau tanda terima transaksi Indocoal dengan pembeli di luar negeri pun dibuat oleh pihak KPC di Kalimantan.

Maka terbitlah Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atas kasus tersebut pada 4 Maret 2009. Sebelum penerbitan surat perintah itu, kantor pajak mengaku belum menerima revisi SPT dari KPC yang sebelumnya telah dianjurkan kantor pusat.

Selang 16 hari kemudian, atau pada 20 Maret 2009, KPC melayangkan gugatan ke Pengadilan Pajak atas terbitnya surat perintah tersebut. Intinya, KPC menilai penyidik pajak tak menjalankan prosedur pemeriksaan sesuai ketentuan.

Dipermasalahkannya proses pemeriksaan ternyata tak membuat Direktorat Jenderal Pajak menghentikan pemeriksaan. Sepuluh hari setelah gugatan KPC masuk ke Pengadilan Pajak, atau 30 Maret 2009, pemeriksaan pun ditingkatkan ke penyidikan. “Buat kami kalau dugaan pidananya sudah kuat, tak perlu lama-lama pemeriksaan Buper-nya,” kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak, Pontas Pane.

Dan itulah yang terjadi, penyidikan kasus dugaan pidana pajak KPC digelar. Penyidikan itu pula yang kemudian dipersoalkan KPC lewat permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah menerima putusan Pengadilan Pajak tertanggal 8 Desember 2009 yang membatalkan Surat Perintah Pemeriksaan Buper kasus KPC. Pada permohonan praperadilan tersebut, KPC dengan tegas meminta majelis hakim praperadilan membatalkan penyidikan yang dilakukan oleh aparat pajak. “Jika surat perintah pemeriksaan bukti permulaannya dibatalkan Pengadilan Pajak, maka penyidikannya juga batal dong,” kata Aji awal pekan lalu.

Namun, Kantor Pusat Pajak menolak pendapat itu. Selain menganggap permohonan praperadilan yang diajukan KPC salah alamat, Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak, Fendy Dharma Saputra, menegaskan bahwa penyidikan dilakukan bukan berdasarkan pada surat perintah Buper. “Tapi justru hasil bukti permulaannya,” katanya menyampaikan eksepsi atas permohonan praperadilan KPC.

Penyidik pajak rupayanya sangat yakin dengan indikasi pidana pada kasus KPC. Terlebih setelah adanya cicilan pembayaran pajak 2007 yang disetor KPC pada periode April hingga Oktober 2009 yang totalnya mencapai Rp 800 miliar. “Artinya mereka mengakui bahwa SPT mereka sebelumnya itu salah, diberi kesempatan memperbaiki tidak mau, sudah disidik baru mengajukan SPT Pembetulan,” ungkap seorang penyidik.

Dikonfirmasi soal hal ini, Pontas dari Kantor Pusat Pajak dan Aji dari KPC sama-sama mengakui adanya setoran pembayaran pajak 2007 yang dilakukan KPC pada 2009 tersebut. Pontas enggan berkomentar soal SPT Pembetulan tersebut. “Kami dilarang Undang-Undang untuk membuka SPT,” katanya.

Adapun Aji punya versi lain. Menurut dia, SPT Pembetulan itu dilakukan bukan untuk mengakui atau membayar kurang bayar pajak yang kini sedang disidik Direktorat Jenderal Pajak. Duit Rp 800 miliar adalah pembayaran kurang bayar pajak yang dihitung sendiri oleh KPC setelah tak pernah mendapat respon dari kantor pajak atas SPT 2007 yang diajukan awal 2008.

Saat itu, Aji menceritakan, selain menyusun SPT 2007, KPC juga sedang memperbaiki SPT 2005 dan 2006 dalam rangka <I>sunset policy</I>. Kedua SPT untuk <I>sunset policy</I> disusun bersama dengan panduan pemeriksa pajak dan segera disetor ke kantor pajak. “Tapi ternyata kedua SPT itu pun tak pernah ditanggapi apakah diterima atau ditolak, termasuk juga SPT 2007. Kami bingung,” katanya Minggu, (7/2).

Karena beberapa kali surat yang dilayangkan kepada kantor pajak untuk memperjelas nasib ketiga SPT tadi tak ditanggapi, KPC pun berinisiatif menyusun SPT Pembetulan. “Di situlah kurang bayar, dan itu kami bayar. Tapi sampai sekarang juga kami tak pernah kejelasan statusnya.”

Menurut Pontas, cicilan tersebut sudah diterima kantor pajak dan disetor ke kas negara. Tapi, kata dia, statusnya bukan lagi sebagai pembayaran pajak. Begitu pula atas SPT Pembetulan dari KPC, Direktorat Jenderal Pajak tak mengakuinya karena kasunya telah dalam penyidikan pidana. “Ya dibayar kami terima saja, tapi ini sudah penyidikan pidana. Kalau mau membayar silahkan lihat Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),” katanya.

Undang-Undang KUP menyatakan penghentian penyidikan kasus pidana pajak bisa dilakukan oleh Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan setelah wajib pajak mengakui kesalahannya dan membayar tunggakan pajak ditambah denda sebesar empat kali pajak terutang. Artinya, jika kurang bayar pajak KPC dalam kasus ini Rp 1,5 triliun, maka setoran KPC yang bisa menghentikan penyidikan mencapai Rp 7,5 triliun.

AGOENG WIJAYA

Berita terkait

Direktorat Jenderal Pajak dan Australia Kerja Sama bidang Pertukaran Informasi Cryptocurrency

7 hari lalu

Direktorat Jenderal Pajak dan Australia Kerja Sama bidang Pertukaran Informasi Cryptocurrency

Kesepakatan kerja sama ini dirancang untuk meningkatkan deteksi aset yang mungkin memiliki kewajiban pajak di kedua negara.

Baca Selengkapnya

Prabowo Banggakan Rasio Pajak Orba, Begini Respons Direktorat Jenderal Pajak

37 hari lalu

Prabowo Banggakan Rasio Pajak Orba, Begini Respons Direktorat Jenderal Pajak

Respons Direktorat Jenderal Pajak terhadap pernyataan Prabowo Subianto yang membanggakan rasio pajak era Orba.

Baca Selengkapnya

Dampak Menggunakan Materai Palsu, Bisa Mengurangi Pendapatan Pajak Negara

40 hari lalu

Dampak Menggunakan Materai Palsu, Bisa Mengurangi Pendapatan Pajak Negara

Penggunaan meterai palsu secara marak bisa mengganggu sistem pajak dan merugikan negara

Baca Selengkapnya

Rafael Alun Tetap Dihukum 14 Tahun Penjara di Putusan Banding

48 hari lalu

Rafael Alun Tetap Dihukum 14 Tahun Penjara di Putusan Banding

Rafael Alun Trisambodo, bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dalam putusan banding tetap menjatuhkan vonis 14 tahun penjara. Dengan denda Rp 500 juta.

Baca Selengkapnya

DJP Kantongi Setoran Pajak Digital Rp 16,9 Triliun, Ini Rinciannya

5 Januari 2024

DJP Kantongi Setoran Pajak Digital Rp 16,9 Triliun, Ini Rinciannya

DJP Kemenkeu mencatat telah memungut pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektronik alias pajak digital sebesar Rp 16,9 triliun pada akhir 2023.

Baca Selengkapnya

2024 NIK Jadi NPWP, Ini Cara Memadankannya

29 November 2023

2024 NIK Jadi NPWP, Ini Cara Memadankannya

Setelah tanggal 31 Desember 2023, masyarakat menggunakan NIK untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Begini caranya jadi NPWP

Baca Selengkapnya

Begini Cara Mengecek NIK Sudah Terintegrasi dengan NPWP atau Belum

29 November 2023

Begini Cara Mengecek NIK Sudah Terintegrasi dengan NPWP atau Belum

Kemenkeu akan segera menerapkan kebijakan NIK jadi NPWP secara penuh pada pertengahan 2024. Berikut cara cek NIK yang sudah tertintegrasi dengan NPWP.

Baca Selengkapnya

Begini Cara Memadankan NIK-NPWP

8 November 2023

Begini Cara Memadankan NIK-NPWP

Memadankan NIK-NPWP dilakukan paling lambat Desember 2023. Begini caranya.

Baca Selengkapnya

DJP Pastikan Kerahasiaan Data Wajib Pajak pada Skema Prepopulated

27 Oktober 2023

DJP Pastikan Kerahasiaan Data Wajib Pajak pada Skema Prepopulated

DJP memastikan bahwa kerahasiaan data yang berkaitan dengan wajib pajak akan terjaga saat skema prepopulated diterapkan.

Baca Selengkapnya

DJP Sebut Insentif Sektor Properti Tak Kurangi Penerimaan Pajak Negara

27 Oktober 2023

DJP Sebut Insentif Sektor Properti Tak Kurangi Penerimaan Pajak Negara

Insentif pajak properti yang ditanggung pemerintah berasal dari pajak masyarakat yang kemudian dibayarkan oleh Direktorat Jenderal Anggaran.

Baca Selengkapnya