Menurut Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani, saat ini Bank Mutiara sedang berperforma kinclong. "Labanya sudah Rp 259 miliar," katanya. Naik jauh dari posisi 20 November 2008 saat di-bailout, minus Rp 7,5 triliun. Ekuitas atau modal naik dari minus Rp 6,6 triliun pada November 2008 menjadi Rp 452 miliar per Desember 2009.
Begitu juga rasio kecukupan modal 10,4 persen dan giro wajib minimum 5 persen. Terlebih, mulai 11 Agustus 2009, Mutiara keluar dari pengawasan khusus Bank Indonesia. "Program penyehatan yang kami lakukan berjalan," kata Firdaus.
Rudjito menargetkan tahun ini Bank Mutiara akan meningkatkan labanya menjadi Rp 350 miliar. "Sesuai undang undang, laba tidak boleh dibagi ke deviden, harus masuk modal," ucapnya. Laba itu berasal dari pendapatan utama yaitu kredit, non-interest income seperti valuta asing. "Tambahannya dari SBI dan SUN," kata Rudjito.
Aset bank bisa bertambah sedikitnya US$ 1 miliar jika aparat berhasil mengembalikan aset milik mantan pemilik Century. Sebagian anggota Panitia Angket meragukan Bank Mutiara bisa dijual ke investor senilai bail-out. "Investasinya tidak menguntungkan," kata Akbar Faizal dari Partai Hanura.
Dia mencontohkan dengan menaruh Rp 6,7 triliun di Surat Utang Negara dalam setahun bisa menghasilkan Rp 600 miliar. Sementara untung Mutiara kurang dari Rp 300 miliar. Hendrawan Supratikno dari PDI Perjuangan mengatakan nilai penjualan Mutiara harus lebih dari Rp 6,7 triliun. "Ada opportunity cost," katanya. Dia mengatakan hitungan paling rendah opportunity cost 6 persen, sehingga nilai jual Mutiara Rp 9,7 triliun.
REZA MAULANA