"Saya menilai belum siap," ujar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Husniah Rubiana Thamrin, Selasa (5/1). Badan Pengawas, lanjut Husniah, sebenarnya meminta penundaan untuk penerapan perdagangan bebas.
Pihaknya sudah bicara dengan Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan tentang ketidaksiapan ini. "Kalau tidak diundurkan, maka akan ada kebangkrutan, di industri kosmetik saja terancam 535 usaha kecil gulung tikar," ungkapnya.
Hingga kini tampaknya tidak ada jawaban dari ketiga menteri tersebut, karena Menteri Keuangan telah meneken kesepakatan itu pada 1 Januari lalu.
Desakan penundaan, telah disampaikan ke ASEAN. Harmonisasi ASEAN seharusnya berlaku terhadap negara-negaranya. Tapi soal kebijakan produk global yang membuka pabriknya di negara-negara ASEAN seperti apa, belum ada jawabannya. "ASEAN juga tidak bisa menjawab pertanyaan itu," urainya.
Dia mencontohkan produk kosmetika asal Perancis yang membuka pabrik di salah satu negara ASEAN untuk menyuplai gerainya di seluruh dunia, tentunya unit costnya lebih rendah ketimbang produk kosmetik asli Indonesia. Akibatnya harga kosmetik asal Indonesia menjadi lebih mahal ketimbang produk perancis tersebut.
Situasi yang sama juga berlaku pada makanan. Pemanis buatan yang berasal dari Cina harganya lebih murah 20 persen dari produk yang sama asli Indonesia.
Tentunya pengusaha makanan akan memilih pemanis yang lebih murah untuk menekan biaya produksi agar produk akhirnya harganya juga bisa bersaing. "Kami tidak bisa menyalahkan pengusaha yang beli pemanis impor," keluhnya.
Usaha Kecil Menengah di bidang makanan, obat dan kosmetik di Indonesia, diakui Husniah, sulit memenuhi standar global. "Untuk memenuhinya perlu investasi," jelasnya.
Maka Badan Pengawas minta penundaan agar punya waktu untuk membina agar memenuhi standar global. "Kalau mereka tidak memenuhi standar, kasihan produknya tidak bisa dijual nantinya," sesalnya. "Indonesia adalah sasaran paling empuk."
Alasannya, dengan pangsa pasar yang banyak setelah Cina dan India, kondisi industri tidak semulus kedua negara tersebut. "Kondisi kita tidak sama, maka ini tidak mudah menghadapi perdagangan bebas," urainya. "Semua negara punya hak untuk melindungi warganya."
DIANING SARI