Benih Bening Lobster NTB Kehilangan Pembeli, Petani: Saat Ini Kami Menangis
Reporter
Ikhsan Reliubun
Editor
Aisha Shaidra
Minggu, 21 Juli 2024 08:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Petani budidaya benih bening lobster atau BBL sebut pendapatan mereka belakangan makin seret. Pengakuan ini datang dari Rusman, pembudidaya udang di Teluk Jukung, Dusun Telong Elong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Pria 52 tahun itu bercerita, hampir dua ton lobster siap konsumsi miliknya hanya terkatung di dalam keramba, kolam budidaya. "Saat ini kami sedang menangis," kata dia kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Jumat malam, 19 Juli 2024.
Rusman menyebut kesedihan penambak lobster mulai terasa setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono membuka kembali ekspor benih bening lobster. Izin itu tercantum dalam Peraturan Menteri KKP tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Menurut dia, peraturan itu menunjukkan KKP lebih memanjakan pemerintah Vietnam.
Adanya kebijakan izin ekspor itu dirasakan Rusman membuat petani budidaya lobster di NTB mulai kesulitan mendapatkan benih bening lobster. Berikutnya, kata Rusman, pasar untuk mendagangkan lobster ini mulai sempit. "Problem pertama kami kekurangan bibit, kedua pasar sudah tertutup," ujar dia.
Dampak lain yang terjadi di dalam negeri menurutnya, nilai benih bening makin kehilangan harga. Padahal, sebelumnya mereka masih bisa menjual lobster jenis pasir siap konsumsi berukuran 300 gram dengan harga Rp 500 ribu. Sekarang mereka hanya bisa menjual per kilogram Rp 260 ribu-Rp 280 ribu. Pasar penjualannya hanya di Bali untuk kebutuhan di wilayah pariwisata. "Jual 50 kilogram itu sudah sangat banyak," ujar dia.
Padahal, kata dia, jika pemerintah ingin menghidupkan masyarakat yang bergantung hidup pada lobster, tidak perlu membuka keran ekspor. Seharusnya melalui KKP, pemerintah bisa memanfaatkan masyarakat memproduksi lobster di dalam negeri. Dengan memberikan kewenangan budidaya sebesar 50 persen, 25 persen nelayan, serta 25 persen pencari pakan.
Rusman mengatakan, ide itu telah diusulkan kepada Biro Hukum Dinas KKP Lombok sejak Januari 2024, jauh sebelum Menteri Wahyu mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2024 tersebut. Menurut dia, alasan pemerintah mengeluarkan izin ekspor dengan sasaran budidaya dilakukan oleh Vietnam dengan alasan proses budidaya di sana lebih baik, itu keliru.
Proses budi daya di NTB, misalnya tak berbeda dengan yang dilakukan di Vietnam. Kesamaannya adalah proses pertumbuhan melalui karantina selama 2-3 bulan. Setelah itu diangkut dan dipindahkan ke lubang lain untuk proses menjadi bibit dengan ukuran sebesar jari jempol. Setelah berukuran jari manis baru lobster itu bisa dikategorikan sebagai bibit dengan waktu pembibitan selama 4-5 bulan.
"Prosesnya sama seperti kami di sini," katanya, menjelaskan kesamaan budidaya yang dilakukan di Vietnam dan yang dilakukan petani di NTB. Kesamaan ini dia ketahui dari orang Vietnam yang pernah berkunjung ke lokasi budidaya. Menurut dia, padahal dengan cara serupa, pembudidaya di dalam negeri bisa diajak bekerja sama untuk memproduksi lobster yang lebih tinggi.
Rusman mengatakan, keran ekspor membuat kuota lobster di Vietnam bertambah banyak dan bisa memenuhi permintaan di negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Cina, dan lainnya. Para pembeli negara lain pun tak perlu ke Indonesia karena selain kebutuhan lobster terpenuhi, ongkos ke sini pun mahal. "Kebutuhan bibit di Vietnam itu semua dari masyarakat Indonesia," ujar dia.
Di balik harga yang merosot dan tak ada pembeli, membuat lobster yang dibudidaya Rusman di 130 lubang tak bisa dipanen. Sementara ongkos pakan yang dia keluarkan sehari bisa Rp 1,8 juta. Padahal, kalau bisa dijual, lobster yang bisa dipanen sebanyak 3,5 ton. "Tapi mau jual ke mana? Tidak ada pembeli," ucap dia, yang mulai membudidaya udang sejak 1998 itu.
Dia mengatakan, keterpurukan harga lobster itu bukan saja membuatnya menjerit. Para petani lain di NTB yang mencapai sekitar 6 ribu-7 ribu pembudidaya, mengalami hal serupa. "Orang sekarang gelang kepala, bersedih, mengapa nasib kami seperti ini," ucap dia.
Abdullah, nelayan pembudi daya lobster di Teluk Jukung, mengeluhkan senada. Saat ini harga lobster memang turun drastis. Selain harga merosot, hampir tak ada pembeli di sana. Pemilik 12 keramba yang menampung 800 lobster siap konsumsi ini mengatakan, bahwa pemerintah bahkan tak punya solusi mengatasi masalah yang dialami petani lobster tersebut.
"Menurut kami penyebabnya di sini karena, keran ekspor dibuka," katanya kepada Tempo melalui sambungan telepon, Kamis malam, 18 Juli 2024. Sebelum izin ekspor dibuka, kata pria 38 tahun ini, para pengusaha dari Malaysia, Singapura, dan Cina, kerap berkunjung mencari udang di tempat pembudidaya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb. Haeru Rahayu, merespons keluhan harga lobster merosot dan tak ada pembeli karena pemerintah membuka kembali keran ekspor. Dia mengatakan, tentang harga lobster konsumsi, fluktuasi harga mengikuti mekanisme pasar. "Harga lobster ditentukan oleh ukuran, jenis, dan kualitasnya," kata dia, melalui aplikasi perpesanan, Jumat malam, 20 Juli 2024. Haeru tak menjawab saat ditanya soal Peraturan Menteri KKP itu sangat memengaruhi harga dan kebutuhan lobster dari dalam negeri.
Pilihan editor: KKP Ungkap Titik Rawan Penyelundupan Benih Bening Lobster
IKHSAN RELIUBUN