Cerita Pengusaha Konfeksi Rumahan Ketar-ketir Hadapi Banjir Pakaian Impor Berharga Murah
Reporter
Nandito Putra
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 12 Juli 2024 17:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Iskak kini harus rela turun status sebagai tukang potong kain di salah satu konfeksi yang berlokasi di Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan karena sepinya orderan saat ini, Jakarta Selatan. Pria 40 tahun kelahiran Bukittinggi yang sebelumnya merupakan pemilik pabrik konfeksi di Cipadu, Kota Tangerang menduga, sepinya orderan akibat membanjirnya produk impor di pasar saat ini.
"Sudah dua bulan ini tidak beroperasi, orderan sedang sepi," kata Iskak saat ditemui di sela-sela pekerjaannya, Jumat, 12 Juli 2024.
Para pekerja konfeksi dibayar berdasarkan jumlah pakaian yang mereka hasilkan. Lantaran pesanan yang masuk kian sedikit, akhirnya satu per satu pekerja di tempatnya mengundurkan diri. "Sudah tidak bisa menutupi sewa tempat dan listrik," kata dia.
Di tempat ia bekerja sekarang, Iskak bertugas sebagai mandor yang membawahi 18 pekerja. Ketika masih mengelola pabrik sendiri, dirinya mempekerjakan 10 orang. Keahliannya sebagai tukang jahit ia peroleh dari sang paman. Iskak bercerita spesialisasinya adalah membuat pakaian anak dan pakaian wanita.
Dalam tiga bulan terakhir atau setelah Lebaran, Iskak mendapati tiga usaha konfeksi di Cipadu berhenti beroperasi. Iskak mengatakan sesama pengusaha konfeksi di Cipadu umumnya saling kenal satu sama lain.
"Penyebabnya karena minimnya orderan yang masuk. Biasanya dalam satu bulan, bisa mengerjakan tiga hingga empat orderan berbeda sekaligus. Tapi sejak awal tahun sudah melandai," katanya.
Iskak menyebut, pelanggan yang menggunakan jasa konfeksi kebanyakan menjual pakaian jadi di lokapasar. Beberapa ada yang menjualnya di Pasar Cipulir atau Pasar Tanah Abang.
"Pengakuan kawan-kawan yang main di online juga sepi. Jadi mereka tidak membeli bahan untuk membuat barang. Akhirnya berdampak ke kami," katanya.
Masih di kawasan Petukangan, konfeksi rumahan yang dikelola Doni Rahmat pada siang itu tidak terlalu sibuk. Dari 12 mesin jahit yang ada, hanya empat yang sedang beroperasi. Tiga pekan lalu Doni mengatakan sebagian pekerja memilih pindah ke konfeksi lain lantaran minimnya pesanan yang masuk ke tempatnya.
Di ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu, kini hanya ada empat pekerja yang bertugas sebagai tukang potong kain hingga menjahit pola-pola yang dibentuk menjadi celana kargo. "Tiap tahun setelah pandemi memang cenderung turun. Tapi jumlah produksi menurun paling drastis dalam tiga bulan ini sehingga kalau ada borongan, itu bisa di-handle lima orang," katanya kepada Tempo, Jumat, 12 Juli 2024.
Iskak dan Doni meyakini faktor lesunya sektor hilir dari industri tekstil disebabkan maraknya produk impor yang dijual murah di pasaran. Iskak, mengatakan di pasar online, satu celana kargo pria dewasa dijual hanya Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu.
"Dari mana hitungannya bisa dijual semurah itu. Sementara kalau dihitung dari modal bahan, upah jahit dan pembuatan label, satu celana modalnya Rp 90 ribu hingga Rp 120 ribu," katanya. "Tapi apakah itu ilegal atau bagaimana, saya tidak bisa memastikan. Logikanya tidak mungkin kalau pakaian impor, harganya lebih murah daripada prdouk lokal."
Ketua Ikatan Pengusaha Konfeksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman, mengatakan ada 2.000 konfeksi rumahan yang mengalami penurunan produksi. "Jumlah penurunan produksinya hingga 70 persen," kata Nandi.
Selain menurunnya jumlah produksi oleh konfeksi rumahan, Nandi menyebut ada puluhan konfeksi yang tergabung dalam IPKB terpaksa tutup. "Ini karena produk impor ilegal membanjiri pasar lokal dengan harga yang sangat murah," katanya.
Nandi mengatakan, permintaan terhadap produk tekstil cenderung stabil. Akan tetapi hal itu berbanding terbalik dengan kapasitas produksi oleh konfeksi rumahan. "Kami bisa membaca dari laporan anggota bahwa terjadi penurunan. Kalau begitu, indikasinya jelas bahwa pasar kita dipenuhi barang impor ilegal yang dijual dengan harga murah," ujarnya.
Pilihan Editor: Produsen Tekstil Sebut Pemerintah Tak Serius Berantas Impor Ilegal: Pakaian Jadi Label Cina Dijual di Bawah Rp 20 Ribu