Mengapa Beras Tetap Mahal saat Harga Gabah Terpuruk? Ini Penjelasan Bulog
Reporter
Desty Luthfiani
Editor
Agung Sedayu
Jumat, 3 Mei 2024 13:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Diretur Utama Bulog, Bayu Krisnamurthi mengatakan tingginya harga beras saat panen raya terjadi di tingkat pedagang. Menurut Bayu, pedagang memiliki pertimbangan tertentu sehingga tidak menurunkan harganya. "Pada musim yang akan datang mungkin panen tidak sebaik yang diharapkan atau beresiko," ujarnya pada Jumat, 3 Mei 2024.
Menurut Bayu, tingginya harga beras juga bisa disebabkan oleh situasi internasional. Ketegangan geopolitik di Timur-tengah memicu penguatan kurs dolar Amerika Serikat. "Tampaknya teman-teman di ritel memperhitungkan faktor tadi. Itu sebabnya ke depan saya kira untuk menstabilkan harga khususnya beras harus punya kemampuan ritel," ujarnya.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Jumat, 3 April 2024 mencatat harga beras medium Rp 13.680 per kilogram. Sedangkan harga beras premium mencapai Rp 15.890 per kilogram. Harga tersebut masih termasuk mahal.
Padahal, harga beli gabah di tingkat petani kini sedang merosot tajam seiring dengan panen raya. Harga pembelian gabah di Bulog kini hanya kisaran Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kilogram. Kondisi tersebut sempat membuat Serikat Petani Indonesia yang meminta pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 7.000 per kilogram.
Mengenai permintaan tersebut, Bayu enggan berkomentar. Bayu mengatakan Bulog tidak memiliki kewenangannya memberikan patokan harga. "Silakan diajukan ke pemerintah yang menentukan HPP, bulog hanya melaksanakan," ujarnya.
Dalam sehari Bulog dapat melakukan penyerapan dari petani sebanyak 30.000 ton beras per hari. Penyerapan dilakukan dengan sentra pengolahan padi atau beras melalui mitra. Bulog juga melakukan penjemputan ke petani dengan program jemput gabah. Bulog memprediksi kondisi panen raya akan berlangsung Mei sampai awal Juni 2024 ini.
Meski stok saat panen raya ini melimpah, Bayu menyebut harus tetap waspada karena Agustus mendatang masuk ke musim kering sehingga impor beras tetap berlangsung dan tidak dikurangi, tapi difokuskan ke wilayah sentra non produksi. Hal itu dilakukan untuk menjaga kestabilan stok beras hingga ke depannya. "Juli, Agustus enggak pasti masih ada panen atau tidak. Tingkat ketidakpastiannya tinggi, jadi yang penting kami punya stok dulu," ujarnya.
Pilihan Editor: Jokowi dan Bos Microsoft Bahas Investasi Besar di Bidang Kecerdasan Buatan