Target Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Para Capres Dinilai Percuma Jika Andalkan Pertambangan
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 19 Desember 2023 15:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan target pertumbuhan ekonomi para kandidat capres dan cawapres Pemilu 2024 cenderung tinggi. Namun, ia mengingatkan target tersebut tak akan tercapai apabila masih bergantung pada sektor pertambangan.
Bhima menegaskan bahwa memiliki proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. "Kualitas dari pertumbuhan ekonomi itu tidak akan tercapai kalau masih didominasi oleh sektor pertambangan penggalian migas yang sifatnya ekstraktif," kata Bhima dalam diskusi bersama Greenpeace di Jakarta pada Selasa, 19 Desember 2023.
Ia menyebutkan kandidat nomor urut 2 yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD memiliki target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Pasangan ini menilai apabila pertumbuhan ekonomi RI tak mencapai 7 persen, sulit untuk mendorong pertumbuhan lapangan kerja.
Begitupun pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menargetkan pertumbuhan ekonomi yang optimistis, namun tak setinggi Ganjar-Mahfud yaitu sekitar 5,5 persen hingga 6,5 persen. Prabowo pun, kata Bhima, banyak menargetkan Indonesia emas, bonus demografi, dan lain-lain.
Sayangnya, kata dia, target itu sulit tercapai apabila masih bergantung pada sektor pertambangan yang kini mengarah pada mineral kritis seperti nikel, bauksit, dan kobalt. Dia mengatakan dalam waktu 7 sampai 15 tahun lagi, nikel saprolit Indonesia habis. Walhasil, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari hilirisasi agak sulit rasanya untuk tercapai.
Eksploitasi migas
<!--more-->
Bhima menjelaskan dominasi sektor pertambangan yang ekstraktif ini memang telah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Pertama saat zaman penjajahan Jepang, ia berujar pertama kali di Tarakan terjadi eksploitasi migas. Kemudian di era Orde Baru terjadi eksploitasi besar-besaran, mulai dari timah hingga batu bara. Bahkan terjadi fenomena ekstraksi dari berbagai sumber daya di sektor kehutanan saat itu.
"Jadi kok sejak ratusan tahun yang lalu sampai hari ini, struktur ekonomi kita itu tidak jauh-jauh dari ekstraktif," kata dia.
Imbasnya, Bhima mengungkapkan ketika harga komoditas melonjak saat pandemi, orang yang semakin kaya adalah pengusaha dari sektor pertambangan. Yakni dari sektor mineral kritis atau hasil dari program hilirisasi.
Sehingga perekonomian Indonesia, ujarnya, hanya berputar-putar pada sektor yang sifatnya ekstraktif. Sementara sektor ini memiliki dampak terhadap volatilitas pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, ia berharap pemimpin Indonesia selanjutnya dapat melakukan perubahan terhadap persoalan ini. Setidaknya, kata dia, konsisten dalam 10 tahun ke depan untuk melakukan transisi dari struktur ekonomi yang ekstraktif ke struktur ekonomi hijau.
RIANI SANUSI PUTRI
Pilihan editor: Capres Didesak Konsisten Transisi ke Ekonomi Hijau, Ekonom: Dampaknya 2 Kali Lipat Pertambangan