Mengenal Jamur Borobudur, UMKM Budidaya Jamur di Kawasan Wisata Candi Borobudur
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Martha Warta Silaban
Senin, 4 September 2023 05:00 WIB
TEMPO.CO, Magelang - Jamur Borobudur menjadi salah satu tempat wisata pendukung Candi Borobudur yang berada di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Usaha mikro kecil menengah (UMKM) itu merupakan tempat budidaya jamur lingzhi, tiram, dan kuping yang diolah menjadi berbagai bentuk makanan dan minuman.
Pemilik Jamur Borobudur Puput Setyoko, 30 tahun, menjelaskan soal jamur-jamur yang digarapnya. Untuk jamur lingzhi, biasanya diolah untuk menjadi obat. Di dunia farmasi, kata dia, jamur yang ditemukan di Cina pada 2.000 tahun lalu itu kerap ditumbuk dan dibuat kapsul. Dulu, jamur itu untuk mengobati para bangsawan, karena susah didapatkan.
“Tapi sekarang sudah bisa dibudidayakan. Hanya membutuhkan waktu sekitar 6 bulan tumbuh, paling lama,” ujar dia saat ditemui di Jamur Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu, 30 Agustus 2023.
Sementara di tempat Puput, jamur lingzhi dikeringkan lalu dipotong-potong untuk diseduh layaknya teh. Menurut dia, secara fisik jamurnya tidak bisa dimanfaatkan, hanya airnya saja yang diminum. Khasiatnya, menurut Puput, anti-aging—untuk mengurangi munculnya kerutan, garis halus, dan kulit kendur.
“Rasanya pahit, ada juga yang menyebut jamur keabadian,” ucap Puput.
Sedangkan jamur tiram kerap ditemui diberbagai pasar atau restoran yang diolah menjadi makanan. Sementara jamur kuping diolah menjadi berbagai jenis makanan. Contohnya seperti keripik, sambal, rendang jamur, bakso jamur, sate jamur, dan berbagai macam produk lainnya.
Selanjutnya: Media tanam jamur<!--more-->
Puput menjelaskan budidaya semua jamur tersebut menggunakan media tanam yang sama yang bernama baglog. Di Jamur Borobudur, ada tempat khusus satu bangunan yang disebut Kumbung atau kandang jamur, tempat tumbuhnya jamur di media tanamnya.
Menurut dia, tempat itu dibuat khusus karena jamur tumbuh ditempat yang lembab. Itu menjadi alasan Kumbung itu dibuat tertutup agar kadar airnya tetap berada di dalam ruangan.
Adapun baglog dibuat dari serbuk kayu yang dicampur dedak atau bekatul yang ditambahkan air, lalu dipadatkan. Setelah itu baglog itu dilakukan sterilisasi atau dikukus selama 10 jam, untuk mematikan bakteri dan senyawa, agar jamur liar tidak tumbuh.
“Setelah sterilisasi baru kita tanami benih jamurnya. Kenapa ini medianya sama tapi jamurnya beda, karena benihnya atau istilahnya tuh spora jamur juga berbeda,” tutur Puput.
Untuk baglog, Puput melanjutkan, khusus jamur tiram dan kuping bisa dipakai 5-6 kali panen. Sementara jamur lingzhi hanya bisa sekali, karena membutuhkan waktu 6 bulan. Setelah itu bekas dari baglog yang sudah tidak terpakai biasanya dimanfaatkan oleh petani cacing untuk budidaya cacing.
“Sehingga, bagi kami baglog jamur itu adalah limbah, tapi untuk petani cacing sebagai bahan baku,” kata Puput.
Usaha budidaya jamur Puput sudah berlangsung sejak 2013. Di mana saat itu hanya menjadi tempat khusus budidaya. Namun, seiring waktu, bisnisnya mengalami perkembangan, bahkan sampai menjadi tempat kunjungan wisata di kawasan Candi Borobudur.
Pilihan Editor: Cerita Pemilik Jamur Borobudur: Dibangun 2013, Kini Omzetnya Rp 140 Juta per Bulan