Beda Data Angka Kemiskinan Ekstrem RI dan Bank Dunia, Ekonom: 0 Persen pada 2024 Tidak Mudah
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 8 Juni 2023 12:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menjelaskan bahwa angka kemiskinan di Indonesia sebesar 17,7 persen pada tahun 2022. Angka tersebut berdasarkan ukuran kemiskinan internasional Bank Dunia (World Bank) berdasarkan US$ purchasing power parity (PPP) yakni US$ 3,2 PPP sebagai batas poverty.
Saat ini Indonesia menggunakan ukuran US$ 1,9 PPP untuk kemiskinan ekstrem yang angkanya 1,5 persen pada 2022 dan menargetkan 0 persen pada 2024. Padahal, kata Yusuf, Bank Dunia sudah memberikan saran kepada pemerintah, untuk evaluasi kinerja penanggulangan kemiskinan yang lebih baik, agar tidak lagi menggunakan ukuran US$ 1,9 PPP, namun menggunakan ukuran US 3,2 PPP.
“Dengan ukuran extreme poverty US$ 1,9 PPP, angka kemiskinan hanya 1,5 persen. Namun, dalam perhitungan IDEAS, dengan ukuran poverty US$ 3,20 PPP, angka kemiskinan melonjak menjadi 17,7 persen,” ujar dia saat dihubungi pada Rabu, 7 Juni 2023.
Yusuf menilai, pemerintah terlihat resisten dengan usulan Bank Dunia ini, dengan alasan utama karena menyebabkan jumlah penduduk miskin akan bertambah signifikan. “Secara politik hal ini tentu tidak menguntungkan bagi penguasa, terlebih menjelang pemilu,” kata Yusuf.
Sementara, ukuran kemiskinan resmi di Indonesia, Badan Pusat Statistik atau BPS menggunakan ukuran kemiskinan nasional. Selama ini data kemiskinan dari BPS inilah yang selalu dipublikasikan pemerintah secara luas, yang rutin dikeluarkan berdasarkan survei setiap 6 bulan yaitu Susenas.
Pada September 2022, angka kemiskinan nasional versi BPS mencapai 9,6 persen. “Pada prakteknya, ukuran kemiskinan US$ 3,2 PPP sesuai rekomendasi dari Bank Dunia lebih relevan, yang menghasilkan angka kemiskinan sekitar 18 persen, dan akan berimplikasi penting bagi strategi pertumbuhan yang lebih inklusif,” tutur dia.
Yusuf pun mencontohkan, misalnya untuk implementasi kebijakan perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan, pemerintah menggunakan data kemiskinan "mikro”. Data tersebut berbeda dari data kemiskinan "makro" dari BPS, yaitu DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang berisi data sekitar 35 persen keluarga termiskin.
Selanjutnya: “Angka ini kurang lebih setara 95 juta penduduk..."
<!--more-->
“Angka ini kurang lebih setara 95 juta penduduk, sekitar 4 kali lipat dari angka kemiskinan resmi dari BPS,” kata Yusuf.
Dengan kata lain, pemerintah sebenarnya meyakini bahwa kenyataannya, jumlah penduduk yang harus dilindungi dengan bantuan sosial dan dientaskan dari kemiskinan adalah 35 persen. Jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan resmi yang di kisaran 10 persen.
Kemiskinan riil yang kita hadapi tercermin pada jumlah penerima bantuan sosial yaitu sekitar 35 persen keluarga terbawah, sekitar 95 juta orang. “Inilah yang merupakan kelompok miskin yang sesungguhnya,” ujar dia.
Seharusnya angka kemiskinan mikro inilah yang harus lebih dipublikasikan oleh pemerintah secara luas dan menjadi basis strategi pembangunan yang lebih inklusif. Karena menjadi tidak relevan bagi pemerintah jika berkeras dan berbangga dengan target angka kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024.
“Realitas kita hari ini adalah bagaimana melindungi 35 persen penduduk miskin di lapis terbawah,” tutur dia.
Menurut Yusuf, jika pemerintah berkeras dengan target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024, meski tidak kredibel karena menggunakan ukuran kemiskinan yang terlalu rendah, target ini tetap tidak akan mudah diraih. Meski angka kemiskinan ekstrem pada 2022 diklaim pemerintah sudah berada di kisaran 2 persen. “Namun menurut saya untuk menuju 0 persen pada 2024 tetap tidak akan mudah."
Pilihan Editor: Target Kemiskinan Ekstrem 0 Persen pada 2024, Ekonom Singgung Kritik dari Bank Dunia
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini