SPI: Impor Beras Terjadi Akibat Bulog Tak Kuasai Cadangan Beras Sejak Tahun Lalu
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 28 Maret 2023 11:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Petani Indonesia atau SPI menanggapi soal keputusan pemerintah mengimpor beras hingga 2 juta ton tahun ini. Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan impor beras tersebut merupakan akibat dari lambatnya pemerintah mengambil kebijakan perberasan.
"Ini terjadi karena rentetan Bulog yang tidak menguasai cadangan pangan pemerintah (CBP) dari tahun lalu dan masalah ini berlanjut sampai tahun ini," ujar Henry ketika dihubungi, Senin, 17 Maret 2023.
Sehingga, tuturnya, Bulog tidak bisa menjadi satu kekuatan yang bisa mengintervensi pasar. Karenanya, SPI menilai pemerintah harus terlebih dahulu memperbaiki peran, fungsi, dan cara kerja Bulog dalam menjalankan tugasnya sebagai CBP sebelum memutuskan impor.
Dia berujar perbaikan harus dilakukan, baik itu dalam menyerap gabah dari petani maupun prosedural-prosedural lainnya. Dengan begitu, Bulog bisa menyerap gabah dari petani dan mendistribusikannya. Dengan demikian, Bulog mampu berfungsi sebagai cadangan pangan pemerintah.
Di sisi lain, jumlah berapa banyak cadangan pangan pemerintah ini, menurutnya, harus segera dibuat aturannya. "Apakah 10 persen dari kebutuhan beras nasional, atau berapa persen?" kata dia. Menurut SPI, ini semua karena keteledoran pemerintah yang mengurus pangan dan Bulog sejak tahun 2022 yang tidak melakukan tugasnya.
SPI pun menyesalkan langkah pemerintah mengambil kebijakan impor beras. Henry menuturkan langkah ini merupakan buah dari buruknya pemerintah dalam menangani persoalan pangan, yang hampir tiap tahun selalu berulang.
Selanjutnya: Sebab, ia menjelaskan ihwal CBP...
<!--more-->
Sebab, ia menjelaskan ihwal CBP pemerintah seharusnya ini bisa diantisipasi jauh-jauh hari. Karena itu, ia menilai persoalan ini berkaitan dengan lambatnya pemerintah merevisi harga HPP di tingkat petani, sehingga penyerapan beras tidak maksimal.
"Padahal kalau hal ini dilakukan secara terukur dan jauh-jauh hari, tentu petani akan mempertimbangkan untuk menjual gabahnya kepada Bulog," tuturnya.
Lebih jauh, Henry mengatakan permasalahan ini membuat SPI tetap mengusulkan agar nilai HPP di angka Rp 5.600 per kilogram. Pasalnya, biaya produksi sudah mencapai Rp 5.050 per kilogram.
Kemudian, ia juga menilai angka harga eceran tertinggi atau HET masih terlampau tinggi. Jadi, ia mendorong pemerintah agar menurunkannya supaya harga beras tidak mahal di tangan konsumen seperti sekarang. Kondisi itu yang akhirnya membuka peluang korporasi-korporasi pangan besar menjadi spekulan di Tanah Air.
Pilihan Editor: Bapanas Ungkap Cerita Latar Belakang Keputusan Impor 2 Juta Ton Beras
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.