Ekonom Indef Beberkan Penyebab Silicon Valley Bank di Amerika Kolaps
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 16 Maret 2023 13:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto membeberkan salah satu penyebab Silicon Valley Bank (SVB) Amerika Serikat bangkrut. Dia menyebutkan penyebab utama kolapsnya bank tersebut karena kenaikan suku bunga yang dilakukan secara agresif belakangan ini oleh bank sentral Amerika, The Federal Reserve (The Fed).
“Jadi kolapsnya ini memang (karena) pada akhirnya kita harus mengatakan bahwa ketika agresivitas bunga acuan dari The Fed itu sedemikian tinggi begitu,” ujar Eko dalam diskusi virtual bertajuk 'SVB Kolaps, Ekonomi Indonesia Perlu Cemas?' pada Kamis, 16 Maret 2023.
Bahkan, Eko melanjutkan, suku bunga acuan sempat naik hingga 4,75 persen tertinggi sejak 4 dekade atau 40 tahun terakhir. Sehingga, kemudian muncul istilah benturan yang pada akhirnya ada sektor keuangan yang kesulitan untuk melakukan adaptasi. Karena perkembangan situasi yang sangat cepat dari kebijakan moneter.
Menurut dia, kebijakan moneter itu sebelumnya relatif predictable, berada di zona bunga rendah, tapi kemudian ketika naik, itu juga sangat cepat. Hal yang melatarbelakanginya adalah tekanan inflasi yang mencapai pada titik 9 persen, luar biasa tinggi dibandingkan dua dekade sebelumnya.
“Sehingga yang dilakukan kemudian kalau kita tahu teori dasar inflasi ya kalau tinggi tentu daya beli akan turun dan terjadi persoalan ekonomi hingga pada resensi atau bahkan krisis,” tutur Eko. “Untuk mencegah itu kemudian The Fed itu melakukan kebijakan normalisasi. Yaitu dengan menaikkan suku bunga itu.”
Hal itu berdampak pada bangkrutnya SVB pekan lalu, kemudian disusul dengan penutupan di bank lain, Signature Bank. Jadi, Eko berujar, implikasinya meluas. Ini adalah gambaran bahwa kebijakan moneter yang ketika sangat agresif dan respon dari para pelakunya khususnya perbankan tidak semua adaptive.
“Kenapa tidak adaptif? Karena SVB ini sebagian besar ya deposannya itu adalah dari startup-startup. Yang kebanyakan dari tech company,” tutur dia.
Selanjutnya: Ditambah lagi, saat ini sedang terjadi...
<!--more-->
Ditambah lagi, saat ini sedang terjadi pelemahan ekonomi global. Bahkan upaya untuk startup berekspansi lewat IPO pun menjadi sulit dilakukan. Akhirnya, para startup itu berusaha mempertahankan diri karena harus membayar pegawai dan lain-lainnya.
Ada overhead cost yang harus dikeluarkan sejumlah startup. “Sehingga ada juga dari mereka yang kemudian mengandalkan simpanannya di bank, kira-kira begitu,” kata dia.
Masalahnya, Eko menambahkan, SVB ini menyimpan sebagian besar aset yang dimiliki, dana pihak ketiga bank atau DPK itu berupa surat utang pemerintah ya. Meskipun seolah-olah jika aset disimpan di surat utang pemerintah terkesan aman, tapi bila ada yang menjual surat utang pada saat harga atau suku bunga itu sedang tinggi, harga obligasi menjadi murah.
“Kira-kira begitu ya secara umum. Karena apa? Karena masyarakat lebih senang nabung daripada membeli obligasi pemerintah begitu. Sehingga kalau (obligasi) mau dijual, harganya pasti jatuh dan itu yang terjadi,” ucap Eko.
Nah untuk menyediakan dana yang ditarik oleh para deposan itu, yang terjadi adalah mismatch—situasi bank kekurangan dana karena banyaknya yang ditarik. Ditambah lagi, kata Eko, bank digital itu jika ingin menarik dana, tidak ada batasannya, seperti bank konvensional yang sehari hanya bisa mengambil Rp 100 juta misalnya.
“Ini mungkin batasannya sangat besar sekali, unlimited mungkin. Sepanjang kita punya duit berapa mungkin bisa ditarik semua. Kira-kira gambarannya kayak begitu, itu yang membuat kemudian situasinya (di Silicon Valley Bank) memburuk,” ujar Eko.
Pilihan Editor: Silicon Valley Bank Kolaps, Sandiaga Uno Minta Startup Waspada dalam Siapkan Strategi Permodalan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.