Suara Buruh dalam Demo 14 Januari: Tolak Rezim Upah Murah, Outsourcing hingga Aturan Baru Pesangon
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 15 Januari 2023 06:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh bersama sejumlah organisasi serikat pekerja menggelar demonstrasi kemarin. Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap Perpu Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 30 Desember 2023.
“Penolakan ini didasari setelah mempelajari isi Perpu yang sangat merugikan kepentingan kelompok kelas pekerja,” kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat berunjuk rasa di kawasan Monas, Sabtu, 14 Januari 2023.
Baca: Perpu Cipta Kerja Ancam Petani Juga, Partai Buruh: Impor Beras 500 Ribu Ton Itu Buktinya
Isu yang diangkat dalam aksi tersebut sama seperti aksi-aksi sebelumnya, yakni fokus pada sembilan poin inti permasalahan yang ada di dalam Perpu Cipta Kerja.
Kesembilan poin itu di antaranya terkait dengan pengaturan upah minimum, pengaturan outsourcing, pengaturan uang pesangon, pengaturan buruh kontrak, pengaturan pemutusan hubungan kerja atau PHK, pengaturan tenaga kerja asing atau TKA, pengaturan sanksi pidana, pengaturan waktu kerja, dan pengaturan cuti.
Adapun beberapa hal yang paling menjadi sorotan dan disuarakan buruh dalam aksi kemarin, antara lain sebagai berikut:
Kembali ke rezim upah murah
Said mengatakan, salah satu poin penting yang sangat merugikan adalah tentang pasal upah minimum, karena pasal itu adalah kembali kepada rezim upah murah. "Yang paling disorot adalah tentang upah minimum, yang menyebutkan kenaikan upah minimum hanya berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks harga tertentu," kata Said.
Menurutnya, kalimat indeks harga tertentu akan menjadi alat bagi para pengusaha untuk memberikan upah murah kepada buruh. "Di seluruh dunia, tidak ada upah minimum itu pakai indeks tertentu, karena ukuran indeks tertentu sulit untuk mengukur secara metode ilmiah," kata Said.
Said meminta agar pemerintah menggunakan dua ukuran internasional dalam menentukan upah minimum kepada pekerja yakni menggunakan inflasi plus pertumbuhan ekonomi atau menggunakan standar kebutuhan hidup layak. Pihaknya lantas meminta agar aturan tentang ketenagakerjaan tetap menggunakan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Negara menjadi agen outsourcing
Said Iqbal menyebut negara sebagai agen outsourcing dengan diberlakukannya Perpu Cipta Kerja. Said mengatakan, dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemberlakuan tenaga kerja outsourcing atau alih daya dibatasi hanya lima kategori yakni petugas katering, security, cleaning service, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
"Di Perpu Cipta Kerja, pasalnya menyebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksana pekerjaan kepada perusahaan alih daya. Anehnya lagi, negara kemudian diberi kuasa oleh Perpu Cipta Kerja ini boleh menentukan mana pekerjaan yang boleh outsourcing mana yang tidak," kata Said.
Selanjutnya: Aturan baru pesangon merugikan...
<!--more-->
Aturan baru pesangon rugikan buruh
Salah satu poin PP 35 tahun 2021 yang tidak memihak kepada buruh adalah pada tentang hak uang pesangon terhadap pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Sekarang anda lihat di Banten, di Jawa Barat sebagian, mulai ada yang menutup perusahaan tekstil garmen sepatu, padahal cuma pindah. Karena apa? Sekarang bayar pesangonnya murah, hanya 0,5 kali dari aturan,” kata Said.
Buruh, kata Said, juga bisa menjadi korban pengupahan yang tidak layak dengan alasan-alasan yang telah disebutkan dalam poin regulasi. “Kami terancam. Kami tidak mau negara hanya menjadi agen pengusaha-pengusaha hitam untuk melemahkan daya kesejahteraan buruh."
Dalam aturan PP 35 tahun 2021, pengusaha yang boleh memberikan uang pesangon 0,5 atau setengah dari aturan yang berlaku diatur dalam pasal 42 ayat (2), pasal 43 ayat (1), pasal 44 ayat (1), pasal 45 ayat (1), pasal 46 ayat (1), pasal 47, dan pasal 52 ayat (1).
Untuk pasal 42 ayat (2), pengusaha boleh memberikan pesangon 0,5 kali atau setengahnya dari ketentuan jika buruh mengundurkan diri. Sementara untuk pasal 43 ayat (1) disebutkan kalau perusahaan mengalami kerugian hingga menimbulkan PHK untuk efisiensi juga boleh membayar pesangon setengahnya.
Selanjutnya pada pasal 44 ayat (1), pesangon setengah dapat dibayarkan kepada buruh yang terkena PHK akibat perusahaan tutup yang disebabkan oleh kerugian. Begitupun pada pasal 45 ayat (1) yang membolehkan membayar uang pesangon setengah karena perusahaan tutup akibat force majeure.
Perusahaan juga boleh membayarkan uang pesangon 0,5 kali apabila perusahaan terlilit hutang hingga sebabkan PHK, itu diatur dalam pasal 46 ayat (1). Aturan yang sama juga diatur di pasal 47, apabila perusahaan mengalami pailit.
Terakhir, untuk pasal 52 ayat (1) pengusaha boleh membayar pesangon setengah dari aturan apabila buruh terkena PHK akibat pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Sementara itu, terkait aturan pemberian uang pesangon terhadap karyawan yang terkena PHK, itu diatur pada Pasal 40 ayat (2) regulasi tersebut. Sehingga acuan 0,5 kali itu berdasarkan perhitungan pada pasal itu.
Pegawai kontrak tak punya kepastian
Said Iqbal menilai Perpu Cipta Kerja tidak memberikan kepastian bagi para pekerja, utamanya soal kontrak. “Orang dikontrak bisa seumur hidup walaupun dalam peraturan pemerintah dibatasi 5 tahun kontrak, tapi periodenya tidak,” kata Said.
Menurut Said, aturan kontrak kerja yang diatur dalam Perpu Cipta Kerja memiliki banyak persepsi, sehingga dapat merugikan pekerja kontrak tentang masa depan pekerjaannya.
“Bisa dikontrak hari ini, seminggu dikontrak besok dipecat nggak pakai pesangon, sebulan dikontrak dipecat nggak pakai pesangon, nggak ada jaminan kesehatan, nggak ada jaminan pensiun,” kata Said.
RIRI RAHAYU | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
Baca juga: Buruh: Perpu Cipta Kerja Membuat Pegawai Kontrak Tak Miliki Kepastian
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.