Nasib Emiten yang Terancam Delisting Disebut Mengkhawatirkan, Ini Penyebabnya
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Minggu, 27 November 2022 11:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menyebut empat emiten yang berpotensi delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI)—POSA, JKSW, LCGP, SRIL—mengkhawatirkan. Bukann hanya dari faktor kasus Asabri dan Jiwasraya yang menyeret POSA, JKSW, dan LCGP, tetapi juga karena kondisi fundamental masing-masing perusahaan.
“POSA sendiri, misalnya. Walaupun baru IPO Pada 2019 lalu, sudah banyak terseret dengan berbagai kasus hukum. Sejak dari IPO, perusahaan ini belum pernah mencatatkan keuntungan dan nilai asetnya terus turun sampai sekarang,” ujar Andri kepada Tempo, Ahad 27 November 2022.
Sementara itu, SRIL saat ini masih menunggu hasil Peninjauan Kembali (PK) yang dimohon oleh kreditur SRIL mengenai homologasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Jika PK tersebut ditolak, Andri melanjutkan, SRIL kemungkinan suspensinya dicabut setelah melakukan public expose.
“Namun SRIL dilihat dari akumulasi kerugian dan defisit modalnya memang sudah sangat parah. Hal ini tidak dibantu dengan proyeksi penurunan daya beli di tahun mendatang yang berpengaruh besar pada industri tekstil,” ujar Andri.
Adapun JKSW dan LCGP sudah lebih dari 24 bulan tersuspensi, tetapi belum delisting. Menurut Andri, ada kemungkinan besar BEI masih menunggu hasil dari proses hukum kasus Asabri. Sebab, aset mereka banyak yang disita sehingga perusahaan tidak mau mengeluarkan laporan keuangan karena tidak bisa mencatatkan aset tersita sebagai aset mereka.
“Status mereka yang tersuspensi menyulitkan mereka untuk mencari permodalan untuk memperbaiki kinerja perusahaan mereka yang sulit membaik setelah terjerat kasus mega skandal tersebut,” ucap Andri.
Lebih lanjut, Andri mengatakan bahwa apabila saham saham-saham tersebut akhirnya delisting, perseroan harus mengadakan pembelian kembali atau buyback saham-saham yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas. Hal ini sebagaimana Peraturan OJK Nomor 3/POJK.04/2021.
Selanjutnya: Saran untuk Investor Ritel yang masih punya sahamnya ...
<!--more-->
Namun, jika melihat kondisi keuangan masing-masing perseroan yang memprihatinkan, maka kecil kemungkinan perusahaan-peruahaan tersebut akan memiliki cukup likuiditas untuk membeli seluruh saham yang beredar di masyarakat. Karenanya, yang memungkinkan terjadi adalah akan akan diadakannya pasar negosiasi untuk pasar investor ritel menjual sahamnya di luar dari bursa BEI.
“Dan kemungkinan besarnya pula, di pasar negosiasi ini akan sangat sedikit pembeli sehingga membuat harga saham jatuh ke nilai paling rendah,” kata Andri.
Andri berujar investor ritel bisa memutuskan untuk mempertahankan saham tersebut setelah delisting dengan harapan perusahaan tersebut akan membaik atau bahkan relisting kembali. Namun hal tersebut kemungkinannya sangat kecil. Sedangkan hal yang biasa terjadi, perusahaan-perusahaan tersebut akan segera dilikuidasi, sehingga pemegang saham hampir bisa dipastikan tidak akan mendapatkan apapun.
“Risiko inilah yang harus diketahui investor ritel mengenai keputusan dalam mengambil posisi terhadap saham-saham dengan kondisi seperti ini,” kata dia.
Berdasakan keterangan pada laman BEI emiten dengan kode saha POSA tersebut telah disuspensi di seluruh Pasar selama 24 bulan. Diketahui pula sebanyak 20,29 persen atau sebanyak 1,7 miliar dari keseluruhan saham merupakan milik masyarakat.
Kemudian emiten yang terancam delisting adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL). Emiten yang lebih dikenal dengan sebutan Sritex ini telah disuspensi di Seluruh Pasar selama 18 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada tanggal 18 Mei 2023.
Terdapat 39,89 persen atau sebanyak 8,1 miliar saham yang beredar di masyarakat. Sedangkan PT Huddleston Indonesia sebagai pengendali saham dengan memiliki 59,03 persen saham.
PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk. (JKSW) menjadi emiten yang masuk potensi delisting BEI. Berdasakan keterangan BEI, suspense JKSW telah mencapai 42 bulan pada tanggal 2 November 2022.
Sebanyak 59,15 juta lembar saham atau 39,44 persen saham yang beredar di masyarakat. Saham JKSW diperdagangkan terakhir dengan harga Rp60 per lembar.
Terakhir yaitu PT Eureka Prima Jakarta Tbk. (LCGP) yang telah disuspensi BEI dan mencapai 42 bulan pada tanggal 2 November 2022. LCGP menjadi emiten yang sahamnya paling banyak dipegang masyarakat. Sebanyak 4,9 miliar atau 87,20 persen saham beredar di masyarakat.
RIRI RAHAYU | BISNIS
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini