Transisi Energi, Menteri ESDM Sebut Investasi Proyek Migas Masih Diperlukan
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 23 November 2022 20:22 WIB
TEMPO.CO, Nusa Dua - Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif memastikan bahwa investasi pada proyek-proyek minyak dan gas bumi (migas) akan tetap diperlukan meski mulai ada pertumbuhan kebutuhan energi baru dan terbarukan.
Pasalnya, kata Arifin, pasokan energi fosil masih sangat diharapkan untuk mewujudkan ketahanan energi. Selain itu, pasokan migas dibutuhkan untuk memenuhi permintaan migas yang terus meningkat, sebelum akhirnya energi terbarukan menjadi lebih kompetitif.
Baca: RUU Migas Bakal Disahkan 2023, ESDM Yakin Iklim Investasi RI Membaik
"Investasi pada proyek-proyek minyak dan gas (migas) akan tetap diperlukan," ujar Arifin di acara 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil dan Gas 2022 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kuta, Bali, pada Rabu, 23 November 2022.
Pendanaan investasi migas minim
Menurut Arifin, pendanaan untuk berinvestasi di industri migas saat ini masih minim. Oleh karena itu, perusahaan migas cenderung berfokus mengembangkan lapangan migas raksasa atau lebih memilih berbisnis di negara yang memberikan kemudahan regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Arifin menuturkan investasi migas di Indonesia, khususnya dalam kerangka transisi energi tetap krusial. Apalagi ada komitmen kuat untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Permintaan migas juga masih tumbuh terutama di sektor transportasi. "Pengembangan sektor gas juga penting dalam menjembatani transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tentunya, transisi energi ini akan dilakukan dalam beberapa tahapan dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan," ujar Arifin.
Dalam proses transisi energi ini, Arifin menjelaskan, pemerintah akan melaksanakan beberapa program strategis gas. Contohnya dengan memperluas penggunaan gas sebagai bahan bakar dan bahan baku industri dengan membangun infrastruktur transmisi dan distribusi gas yang terintegrasi.
Selain itu, pemerintah akan mendorong konversi solar menjadi gas pada pembangkit listrik dan pembangunan sarana prasarana, serta pembangunan jaringan pipa gas untuk rumah tangga dan usaha kecil. "Gas adalah solusi yang baik untuk mengatasi masalah intermittency energi terbarukan variabel."
Selanjutnya: ESDM juga menggenjot produksi migas sekitar...
<!--more-->
Kementerian ESDM, dia melanjutkan, juga berencana menggenjot produksi migas sekitar 1 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD) minyak dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030 yang diperuntukkan khusus untuk penggunaan dalam negeri. Ia pun yakin target tersebut bakal tercapai karena potensi hulu migas Indonesia masih sangat besar.
"Kita memiliki 68 potensi cekungan yang belum dieksplorasi dan cadangan terbukti minyak sebesar 2,4 miliar bbl, sedangkan cadangan gas terbukti sekitar 43 TCF," tutur dia.
Tantangan kegiatan hulu migas
Meski begitu, Arifin tak menampik bahwa kegiatan hulu migas di Indonesia saat ini sangat menantang, terutama dari segi biaya. Mulai dari biaya eksplorasi, pengembangan, produksi, dan akses ke sumber daya meningkat.
"Dengan demikian, Indonesia membutuhkan investasi yang lebih besar untuk memacu tambahan produksi migas nasional," ucapnya.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sebelumnya menyebutkan industri migas membutuhkan investasi yang cukup besar. “Kami perkirakan, industri hulu migas membutuhkan investasi US$ 179 miliar (setara Rp 2.810 triliun dengan acuan Rp 15.700 per dolar AS),” ujar dia.
Oleh karena itu, dia melanjutkan, industri tersebut memerlukan partisipasi aktif dari pelaku domestik dan internasional untuk membuka potensi migas di Indonesia. Sehingga bisa mencapai target pemerintah yaitu memproduksi minyak 1 juta BOEPD dan produksi gas 12 BSCFD.
Menurut Dwi, industri migas global berada dalam masa yang sangat dinamis dan penuh tantangan. Situasi geopolitik dan ekonomi global saat ini menyebabkan gangguan pasokan energi dan pangan yang selanjutnya menyebabkan kenaikan harga.
“Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ancaman inflasi dan krisis ekonomi dan energi. Dengan demikian ketahanan energi merupakan isu penting untuk dibahas,” ucap Dwi.
Baca juga: Kepala SKK Migas Beberkan Potensi Besar LNG RI dari Aceh hingga Papua
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini