Komentari IMF, Didik Rachbini Kritik Bunga Pinjaman Indonesia Setara dengan Bangladesh
Reporter
Arrijal Rachman
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 5 November 2022 11:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior yang juga merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menjelaskan penyebab bunga pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs dianggap Dana Moneter Internasional atau IMF sudah terlalu tinggi. Bahkan kini bunga utang pemerintah Indonesia setara dengan Bangladesh.
Menurut Didik, permasalahan itu bermuara pada kualitas pengelolaan utang dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang terbilang rendah. Akibatnya biaya pinjaman itu bisa tinggi dan setara Bangladesh maupun India, meskipun defisit fiskal terus pemerintah tetapkan pada level rendah.
"Tanpa kontrol dan kritik, kebijakan utang yang besar dengan bunga yang terlalu tinggi ditelan mentah-mentah begitu saja. Kualityas kebijakan fiskal seperti ini naif dan setara dengan negara terbelakang Bangladesh, seperti dikemukakan IMF," kata Didik, Sabtu, 5 November 2022.
Rektor Universitas Paramadina ini pun mengungkapkan faktor mendasar yang menyebabkan kebijakan fiskal utang publik ini rendah kualitasnya. Menurut Didik, arah kebijakan fiskal yang ekspansif selama ini cenderung dilatarbelakangi kepentingan politik penguasa, tanpa adanya kontrol yang baik dari legislatif.
"Kontrol check and balance mati karena tidak ada opposisi yang signifikan. Kualitas partai tidak memadai sehingga jor-joran anggaran berjalan mulus dengan resiko beban utang tingga pada pemerintahan selanjutnya," ujar Didik.
Didik menjelaskan, ini jelas tergambar dari kebijakan utang pemerintah pada 2020 yang diputuskan sekitar Rp 640 triliun, seketika bertambah pesar saat terjadi serangan Covid-19. Kata dia, pemerintah memutuskan nominal utang menjadi sekitar Rp 1.200 triliun dengan realisasinya menjadi Rp 1.520 triliun rupiah.
"Untuk meloloskan kebijakan naif ini, wewenang DPR dilucuti sehingga APBN hanya diputuskan oleh pemerintah. Jadi kebijakan fiskal ala rezim ini adalah kebijakan fiskal yang ugal-ugalan dengan kualitas setara negara terbelakang Bangladesh," kata Didik.
Oleh karena itu, Didik menekankan, tak heran IMF menganggap sovereign borrowing costs ini sudah terlalu tinggi. Walaupunm kata Didik, IMF juga mengaku heran karena salah satu faktor yang memengaruhi pergerakan biaya pinjaman itu, yaitu kebijakan fiskal pemerintah.
Kebijakan fiskal ini yang sebelumnya sudah menetapkan agar defisit dijaga rendah. Hal ini sesuai Undang-undang Keuangan Negara maksimal 3 persen dalam kurun waktun yang lama.
Selanjutnya: IMF cenderung telat mengomentari tingginya bunga utang...
<!--more-->
Meski begitu, kata Didik, IMF cenderung telat mengomentari tingginya bunga utang pemerintah itu. "IMF terlambat melihat ini karena sudah lama masalah ini menjadi sasaran kritik ekonom-ekonomi nasional. Tetapi tidak bergeming karena akal sehat pengambil keputusan, parlemen dan pemrintah, tertutup watak dasar budget maximizer tanpa kalkulasi yang memadai," ujar dia.
Sebelumnya, IMF menilai level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi. Kondisi levelnya pun menurut mereka tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semakin baik.
Berdasarkan data Regional Economic Outlook Asia and Pacific IMF edisi Oktober 2022, Indonesia masuk 3 besar dengan sovereign borrowing costs terbesar bersama Bangladesh dan India. Besarannya untuk local currency yield sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun.
"Ini terlalu tinggi, dan kita inginnya itu lebih rendah lagi," kata IMF Senior Resident Representative untuk Indonesia James Walsh saat berkunjung ke kantor Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Selasa, 1 November 2022.
Satu-satunya cara untuk menurunkan biaya bunga utang itu, kata James, adalah dengan menciptakan kebijakan fiskal yang kredibel dalam rentang waktu yang sangat lama. Dalam kurun waktu 10-15 tahun, Indonesia mampu menekan defisit fiskal di level yang rendah.
Adapun defisit fiskal atau defisit APBN Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maksimal sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Satu-satunya cara untuk menurunkan biaya suku bunga adalah dengan memiliki kebijakan fiskal yang kredibel dalam jangka waktu yang lama sehingga Indonesia benar telah jauh lebih rendah dari 10-15 tahun yang lalu, tetapi prosesnya selalu lambat," ujar Walsh.
Baca juga: Sering Beri Utang, Apa Beda IMF dengan Bank Dunia?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.